Jumat, 25 Mei 2018

PENA IDEOLOGIS

      
Saya teringat salah satu tulisan penulis inspiratif Kurniawan Gunadi kurang lebih setahun yang lalu yang membahas makna produktif. Manusia acapkali mengaitkan makna produktif dengan sesuatu yang terlihat “dinamis” dan menghasilkan sesuatu yang “visible” yakni materi (uang). Kebanyakan manusia menstigmakan seorang pekerja kantoran lebih produktif dibandingkan seorang penulis yang menghabiskan waktu dirumah demi menulis sesuatu yang belum tentu menghasilkan materi (uang). Setujukah anda?
      Produktif menurut KBBI bermakna memiliki sifat menghasilkan sesuatu, artinya ada suatu karya yang tercipta. Jika merujuk pada makna tersebut, maka menulis merupakan salah satu aktivitas yang dapat dikatakan produktif. Hanya saja saya ingin mengajak anda untuk berfikir dan memaknai bahwa menulis tidak hanya seharusnya bersifat produktif namun juga… hmm apa kira-kira?? Menulis dengan pandangan menghasilkan sesuatu dapat diberi nilai 1, menulis dengan pandangan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dapat diberi nilai 2, namun ada poin plus lagi jika terdapat pandangan bahwa menulis itu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan mampu menyadarkan dalam rangka perubahan ideologis.
       Mengapa perlu ideologis? Jika kita amati, sejarah majunya peradaban di dunia, tidak terlepas dari para pemikir ideologis yang ada di baliknya. Sebut saja Ibn Sina, Al-Khawarizmi, Ibn Rusyd dan lainnya yang dengan pemahaman ideologi Islam bahwa ilmu adalah bekal akhirat dan bertujuan untuk kemaslahatan umat agar semakin taat mendorong dirinya untuk menulis. Tengok pula peradaban kapitalisme dikokohkan dengan hasil karya penulis seperti Adam Smith, David Ricardo dan lainnya yang bergerak dari misi ideologis dengan paradigma kebebasan.
       Visi dan misi adalah sesuatu yang seharusnya melekat dari diri seorang penulis, pun seorang yang mengaku muslim. Konsekuensi syahadat harusnya menghasilkan ketundukan kepada ALLAH SWT dengan aktivitas yang sesuai dengan hukum syara. Salah satu aktivitas mulia adalah dakwah yang tak hanya via lisan namun juga tulisan. Dakwah yang penuh hikmah, dakwah yang menyadarkan. Maka jadilah penulis ideologis karena jemarimu adalah wasilah kebangkitan Islam.

Senin, 21 Mei 2018

RAMADHAN DAN SEBENAR-BENAR TAQWA

          Kita semua pasti sangat merindukan dan bersemangat menyambut kedatangan Ramadhan. Hari ini saja, sudah ada beberapa grup WA yang hidup kembali setelah sekian lama mati suri. Kebangkitan grup WA ini juga salah satunya diakibatkan adanya semangat Ramadhan yang menggebu-gebu. Semangat ingin buka puasa bersama sebagai ajang reuni tahunan.
            Banyak sekali fenomena-fenomena lain yang juga menyertai momentum ramadhan tidak hanya perihal puasa dan tarawih. Ramainya pasar ramadhan, update status dan foto kebersamaan ngabuburit dengan keluarga atau sahabat, sahur on the road, sharing resep makanan hingga fenomena mager all day hehe.
          Sebuah anekdot pun acapkali terdengar dengan uniknya kebiasaan masyarakat ketika Ramadhan. “Minggu pertama sibuk ibadah, minggu kedua sibuk buka puasa bersama, minggu ke sibuk beli baju lebaran, minggu keempat sibuk bersih-bersih rumah, minggu kelima kemudian menyesal”. Hal ini bisa saja memang kita sadari terjadi pada diri kita. Inilah pertanyaan besar. Memang benar ramadhan ditunggu, tapi kok hanya berlalu begitu?
            Kita pasti sudah sangat familiar dengan nash yang berkaitan dengan keutamaan puasa Ramadhan.  Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183). Jelas sekali puasa merupakan ibadah yang dengannya diharapkan agar menjadi bertaqwa.
            Lalu apakah makna taqwa yang dimaksudkan? Definisi taqwa menurut Thalq Bin Habib Al’Anazi sebagaimana dikutip dari muslim.or.id. “Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah
            Saya kemudian tertarik dengan realita bagaimana bisa kemudian seseorang berpuasa namun masih saja terlibat dalam kemaksiatan? Bagaimana bisa seseorang berpuasa namun lalai dalam mengharap ampunan Allah atas perilaku pamer makanan mewah yang sering dilakukan? Bagaimana bisa seseorang berpuasa namun lemah dalam meninggalkan kemaksiatan dalam bentuk ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan) pada saat berbuka puasa bersama? Apakah kemudian ada yang salah dengan puasa nya?? Disamping kita perlu memahami kewajiban puasa dari ayat diatas, kita juga seharusnya mampu senantiasa merenungi mendalam ayat tersebut. Sudahkan kita bertaqwa sebagaimana seharusnya?

Bertaqwa dengan sebenar-benar taqwa
            ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا اتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ Ø­َÙ‚َّ تُÙ‚َاتِÙ‡ِ ÙˆَÙ„َا تَÙ…ُوتُÙ†َّ Ø¥ِÙ„َّا ÙˆَØ£َÙ†ْتُÙ…ْ Ù…ُسْÙ„ِÙ…ُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Q.S Ali Imran: 102)
            Harapan puasa sebagai cara agar seseorang bertaqwa nyatanya juga tidak bisa dilepaskan dari konteks kondisi yang mengelilingi secara umum. Salah satu ayat yang dikutip diatas menjadi salah satu pendorong kita untuk memahami sebenar-benarnya realitas taqwa. Kita kerapkali menghubungkan ketaqwaan dengan makna menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Jelas ini definisi yang tak keliru. Hanya saja ALLAH juga mendorong kita untuk bertaqwa dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya. Lalu seperti apa mewujudkannya?
Terwujudnya ketaqwaan seseorang yang sebenar-benar taqwa tentu haruslah didukung dengan pemahaman mendalam seseorang akan akidah Islam yang dianutnya. Seseorang haruslah senantiasa meng-upgade diri untuk semakin memahami Islam secara menyeluruh, mulai dari perkara halal sampai yang haram, perkara fundamental sampai perkara teknis, karena bagaimana mungkin ketaqwaan bisa hadir dan bertahan jika ia tak mampu atau malas memahami Islam yang dianutnya melalui jalan pemikiran.
Tak berhenti sampai disini, sebenar-benarnya taqwa seseorang juga melibatkan usaha untuk sekuat tenaga istiqomah dalam ketaatan serta menutup segala celah yang memungkinkan dirinya berbuat kemaksiatan. Inilah pentingnya selalu evaluasi atau muhasabah. Segala usaha untuk tetap istiqomah dan menutup celah kemaksiatan tidak hanya mampu dilakukan individu seorang diri, melainkan juga perlu adanya masyarakat yang peduli dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar serta negara yang menerapkan syariat Islam secara total. 
Momentum Ramadhan ini menjadi momen terbaik untuk kita melakukan muhasabah, mudah atau justru sulitkah saat ini kita mewujudkan diri yang bertaqwa, dengan sebenar-benar taqwa sebagaimana yang diperintahkan ALLAH? Jika terasa masih sulit, disitulah letak perjuangan yang harusnya ditempuh, yakni terus ngaji dan dakwah untuk mewujudkan penerapan syariat Islam secara total yang dengannya sebenar-benar ketaqwaan didorong dan kesejahteraan serta keamanan muslim maupun nonmuslim bisa terwujud. Wallahu a’lam bis shawab

Kamis, 10 Mei 2018

TERMINOLOGI RADIKALISME DI KAMPUS: SEBUAH PROPAGANDA?

Benar adanya, para pemuda yang didalamnya termasuk para intelektual (mahasiswa) memiliki andil besar dalam kemajuan suatu bangsa. Sebagaimana yang disampaikan Bapak Proklamator, Ir.Soekarno bahwa kehadiran satu pemuda saja mampu menggoncang dunia. Menggoncang dengan kualitas diri yang unggul hingga mampu berkontribusi terbaik untuk negeri bahkan dunia. Hanya saja, sudahkah kita pada tataran yang terstandar untuk memahami mutu dari seorang intelektual?
Realitas yang ada menunjukkan bahwa mutu seorang intelektual acapkali disandingkan dengan prestasi akademik semata. Kita amati bahwa orientasi nilai lebih diutamakan dibandingkan kontribusi langsung secara jangka pendek apalagi jangka panjang. Hingga pada akhirnya, intelektual diperkosa dengan pemikiran instan dan pragmatis.
Hal yang lebih menarik bahwasanya pada saat ini para intelektual yang idealis justru semakin termarjinalkan, termasuk mereka yang idealis dengan ajaran agama Islam. Ini dapat dikaitkan dengan terminologi “radikalisme” yang tengah hangat diperbincangkan. Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Budi Gunawan menyatakan 39% mahasiswa Indonesia sudah terpapar paham radikal. Ia pun mengungkapkan semakin fokus dan menyoroti tiga universitas yang berpotensi menjadi basis penyebaran paham radikal, meski belum terungkap universitas mana yang dimaksud. (Detik.com, 28/4)
Apa itu radikal? KBBI mendefinisikan radikal sebagai mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) atau dikatakan mengakar. Menarik, definisi ini bahkan tak mengandung sedikitpun diksi yang negatif apalagi berbahaya. Artinya ini merupakan istilah yang netral. Namun berbagai definisi radikal semakin condong dan mengerucut pada penambahan label “kekerasan” dibaliknya, sehingga seolah terminologi ini mengandung unsur yang membahayakan bagi negara.
Penggorengan isu radikalisme merupakan hal yang amat nampak. Pasalnya opini semakin digiring agar radikalisme menjadi tersudutkan pada penilaian negatif kepada Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya statement berbagai pihak yang mengaitkan terminologi radikalisme dengan berbagai terminologi keagamaan dalam Islam. Peneliti Wahid Foundation, Alamsyah Ja’far misalnya mengaitkan radikalisme dengan aktivitas menuntut ilmu agama "Mahasiswa yang masuk kategori terpapar radikalisme biasanya tidak cukup memahami ajaran agama. Tapi di sekolah atau di kampus, mereka berniat menekuni agama," (CNN Indonesia, 1/5). Hal ini mengindikasikan seolah belajar ilmu agama secara menyeluruh merupakan proses mengantarkan mahasiswa menjadi radikal. Media mainstream pun tak ketinggalan ambil bagian, berbagai headline yang menggunakan terminologi radikalisme mayoritas berisi konten yang mengaitkan dengan khilafah, rohis, jihad dan berbagai terminologi dalam Islam lainnya. Hal ini menyebabkan citra Islam menjadi kabur bahkan buruk.

Kesadaran Politik Mahasiswa: Sebuah Ancaman?
      Meningkatnya kesadaran politik Islam di kalangan mahasiswa bagaimanapun dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan sistem sekuler kapitalis dan para penjaganya. Sebagaimana dipahami, amat jelas sejatinya propaganda yang dibangun hingga ke ranah kampus merupakan suatu bentuk upaya untuk menumbuhkan skeptisme dalam diri mahasiswa atas kebenaran Islam, hingga mengambil Islam dalam bentuk sikap yang netral dan lenyaplah rasa cinta dan bangga atas seluruh ajaran Islam. Pada akhirnya, propaganda ini juga jelas menjadikan mahasiswa semakin jauh dari agamanya hingga menjadikan diri terpesona dan berkiblat pada barat dalam hal food, fashion, fun and film.
Tak kenal maka tak sayang
            Tak paham maka tak terima
            Inilah ungkapan yang sangat cocok menggambarkan betapa kesadaran politis akan keberadaan propaganda radikal versi barat merupakan sebuah urgensi. Mahasiswa seharusnya memang menyadari bahwa isu radikalisme merupakan isu yang terus berusaha disusupi ke tubuh kaum muslim untuk mampu terus menancapkan kepentingan mereka atas kaum muslim. Islam radikal akan terus digesekkan dengan Islam moderat agar mahasiswa senantiasa hidup secara “biasa-biasa saja”.
Upaya yang sistemik dan berkesinambungan amat diperlukan untuk membina mahasiswa dengan pemikiran Islam secara utuh, tanpa pilih-pilih mulai dari akidah, ibadah, syariah bahkan khilafah. Karena sejatinya yang dihadapi memang pertarungan pemikiran, sehingga para mahasiswa tidak boleh gentar dengan berbagai propaganda dan ancaman yang menghadang.
            Islam adalah rahmatan lil alamin. Islam adalah agama yang damai. Metode dakwah Islam pun jelas sesuai dengan perintah Rasulullah SAW yakni dengan pemikiran dan tanpa kekerasan. Islam rahmatan lil alamin nyatanya tidak hanya sekedar konsep, namun aplikatif, begitu pula dengan ajaran khilafah. Maka merupakan hal yang amat keliru jika mengaitkan khilafah dengan stigma negatif radikalisme yang dianggap membahayakan para intelektual. Tak ingatkah para intelektual yang cerdas dan cemerlang justru hadir dari kegemilangan penerapan Islam secara total dalam naungan khilafah?

TEROPONG PENDIDIKAN INDONESIA: SEJAUH MANA SISWA TELAH “TERDIDIK”?

Semua orang mafhum bahwa pendidikan merupakan tiang kemajuan bangsa. Peserta didik diharapkan memiliki kepribadian luhur dan madani. “Pendidikan karakter” itulah yang dicanangkan pemerintah secara masif. Peserta didik dituntut menjadi insan yang cerdas berkarakter. Dikutip dari website resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dinyatakan bahwa melalui pendidikan karakter ini, pemerintah mendorong peserta didik untuk mampu memiliki kompetensi dalam berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif.
      Masih dari website Kemendikbud, peran guru sangat diharapkan agar mampu mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran di kelas dan mampu mengelola manajemen kelas. Kepala Sekolah pun dapat mendesain budaya sekolah yang menjadi ciri khas dan keunggulan sekolah tersebut. Cita-cita dibalik penerapan pendidikan karakter ini sungguh mulia. Hanya saja jika kita sedikit mengupas, ada hal yang justru menggantung dari hal ini jika dilihat dari aspek landasan dan evaluasi akhir.
       Karakter sendiri didefinisikan oleh KBBI sebagai “akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain”. Berdasarkan definisi ini, sejatinya menjalankan pola pendidikan berbasis karakter tidak bisa hanya dengan memfokuskan diri pada akhlak itu sendiri. Mengapa? Karena akhlak adalah buah dari kecemerlangan pola fikir dan proses berfikir peserta didik. Takkan berubah pola sikap seseorang menjadi berbudi pekerti baik apabila pola pikirnya masih belum sempurna pada pola pikir yang hakiki. Inilah yang disebut sebagai upaya memahamkan bukan hanya sekedar memberitahukan.
        Jika kita bertanya pada para peserta didik, berapa banyakkah yang mengerti tujuan pembelajaran matematika aljabar? Berapa banyakkah yang paham akan sasaran yang dicapai melalui pembelajaran mengenai sistem pencernaan manusia? Berapa banyakkah yang sadar sejarah pentingnya mempelajari berbagai jenis sistem ekonomi di dunia? Atau pertanyaan paling umum, apa tujuan kalian belajar?? Kira-kira akan kita dapati hasil yang bagaimana?
Pendidikan bukan sekedar belajar lantas hilang. Belasan tahun lantas selesai. Namun lebih dari itu, pendidikan merupakan proses pemahaman yang menyeluruh dan menancap kuat. Basis pendidikan sejatinya tercermin dari ideologi yang diemban penyelenggara pendidikan (dalam hal ini pemerintah). Basis ideologi yang digunakan dalam kehidupan akan mempengaruhi sistem pendidikan yang dijalankan sehingga menghasilkan output yang sesuai dengan harapan ideologi tersebut.
Cita-cita pendidikan berkarakter namun dilandasi dengan ideologi kapitalisme-sekularisme sebagaimana yang terjadi saat ini tentu saja hal yang kontradiktif. Wajar saja realisasi paradigma pendidikan ini belum optimal. Terlihat dari masih banyaknya ketimpangan moral pada siswa di Indonesia. Tawuran, seks bebas dan narkoba masih tetap menjadi potret suram.
Belum lagi jika mengamati banyaknya masalah yang terjadi dalam UN beberapa waktu lalu terutama berkaitan dengan soal-soal HOTS (High Order Thinking Skill) yang menjadi kontroversi. Terdapat “perang” antara Mendikbud dengan peserta didik yang didukung oleh KPAI. Mendikbud menyatakan tingkat kesulitan soal UN sudah disesuaikan dengan kemampuan siswa. Ia juga menyatakan kisi-kisi sudah disosialisasikan dan diajarkan kepada siswa (Republika, 21/4). Namun, KPAI justru melakukan pembelaan dan menyatakan hal ini sebagai malpraktik dalam dunia pendidikan dikarenakan soal tersebut diakui siswa tidak pernah diajarkan sebelumnya. (Detik, 17/4)
Fenomena ini mengesankan betapa sulitnya UN yang dihadapi oleh peserta didik. Ujian pada dasarnya merupakan upaya menilai sejauh mana kemampuan peserta didik dalam memahami materi. Prosesnya pun tidak berjalan dengan tekanan berat. KI Hajar Dewantara saja membangun pendidikan dengan memberi istilah “Taman Siswa”. Taman merefleksikan sebuah tempat bermain dan belajar yang nyaman. Bukan tempat mengerikan laksana kuburan.

Dimana pendidikan agama?
        Racun sekularisme adalah sebenar-benar malapetaka. Tak mengapa bercita-cita membentuk insan-insan yang cerdas dan berkarakter. Namun bagaimana bisa jika agama tak digubris? Memisahkan agama dari kehidupan selayaknya berjalan di dalam gelap tanpa cahaya. Kita patut meyakini ilmu adalah baik namun keberkahan ilmu adalah sebaik-baik kebaikan.
          Sistem pendidikan yang baik adalah sistem yang berasal dari Sang Pencipta, ALLAH SWT. Pemahaman dihantarkan dengan berasaskan pada ideologi Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi. Bukan pada ideologi kapitalisme yang berorientasi materi dan angka semata.
          Islam mengatur bahwa menuntut ilmu adalah perkara yang wajib bagi setiap muslim dan merupakan kewajiban pula bagi negara untuk memfasilitasi pemenuhan hak dasar ini, baik dari segi sarana dan prasarana, penggajian tenaga pengajar, penyediaan bahan ajar bahkan sampai penyediaan akses pendidikan kepada peserta didik yang mudah, murah bahkan gratis.      
“Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendidikan dalam Islam disandarkan pada ideologi Islam sehingga kurikulum yang digunakan pun adalah kurikulum akidah Islam. Pendidikan Islam mendapatkan porsi yang besar karena merupakan basis pembentukan pola pikir dan pola sikap yang akan menghasilkan kepribadian Islam. Kepribadian Islam yang memang secara luas tak bertentangan dengan nilai-nilai universal.
          Kemana porsi pendidikan umum/terapan? Tentu saja tetap tersedia, namun sifatnya tidak mengikat sebagaimana pendidikan saat ini. Peserta didik bebas untuk mengeksplorasi potensi diri dalam ilmu-ilmu terapan dalam rangka kemaslahatan umat tanpa dibatasi waktu apalagi biaya. Peserta didik memang dipahamkan bahwa kontribusi keilmuan kepada umat juga merupakan amal jariyah yang bernilai pahala di sisi ALLAH. Pendidikan yang seperti inilah yang mencetak ilmuan besar seperti Ibnu Sina sang pakar kedokteran, Al-Khawarizmi sang pakar matematika, Az-Zarkalli sang pakar astronomi, Al-Idrisi sang pakar Geografi dan masih banyak lagi. Sekali lagi, jelas, pendidikan bukan sekedar selesai hingga perkara dunia namun juga menjadi penambah timbangan amal di yaumil hisab kelak.
         Evaluasi pembelajaran pun senantiasa dilaksanakan namun tak melulu berpatokan pada angka dan nilai sebagaimana UN. Evaluasi tergambarkan dari kemampuan peserta didik paham akan hakikat diri, alam semesta dan kehidupan. Kesuksesan pendidikan dapat dinilai dari implementasi atau amalan para peserta didik yang senantiasa sesuai dengan hukum syariat. Inilah wujud generasi pembangun peradaban cemerlang.
        Jika kita teropong pendidikan Indonesia saat ini. Sudah cukup intensif kah usaha mewujudkan insan terdidik dengan melaksanakan pendidikan yang berdasarkan pemahaman yang bersumber dari wahyu ALLAH? Jika belum mari berubah. Refleksikan Hari Pendidikan Nasional dengan ketundukan, ketaatan dan ikhtiar mewujudkan tata kelola pendidikan sesuai syariat Islam dalam naungan Khilafah. Tak perlu dengan nonton bareng film Dilan