Semua
orang mafhum bahwa pendidikan merupakan tiang kemajuan bangsa. Peserta didik
diharapkan memiliki kepribadian luhur dan madani. “Pendidikan karakter” itulah
yang dicanangkan pemerintah secara masif. Peserta didik dituntut menjadi insan
yang cerdas berkarakter. Dikutip dari website resmi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dinyatakan bahwa melalui pendidikan karakter ini, pemerintah
mendorong peserta didik untuk mampu memiliki kompetensi dalam berpikir kritis,
kreatif, komunikatif dan kolaboratif.
Masih dari website Kemendikbud,
peran guru sangat diharapkan agar mampu mengintegrasikan nilai-nilai karakter
dalam pembelajaran di kelas dan mampu mengelola manajemen kelas. Kepala Sekolah
pun dapat mendesain budaya sekolah yang menjadi ciri khas dan keunggulan
sekolah tersebut. Cita-cita dibalik penerapan pendidikan karakter ini sungguh
mulia. Hanya saja jika kita sedikit mengupas, ada hal yang justru menggantung
dari hal ini jika dilihat dari aspek landasan dan evaluasi akhir.
Karakter sendiri didefinisikan oleh KBBI
sebagai “akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain”.
Berdasarkan definisi ini, sejatinya menjalankan pola pendidikan berbasis
karakter tidak bisa hanya dengan memfokuskan diri pada akhlak itu sendiri.
Mengapa? Karena akhlak adalah buah dari kecemerlangan pola fikir dan proses
berfikir peserta didik. Takkan berubah pola sikap seseorang menjadi berbudi
pekerti baik apabila pola pikirnya masih belum sempurna pada pola pikir yang
hakiki. Inilah yang disebut sebagai upaya memahamkan bukan hanya sekedar
memberitahukan.
Jika kita bertanya pada para peserta
didik, berapa banyakkah yang mengerti tujuan pembelajaran matematika aljabar?
Berapa banyakkah yang paham akan sasaran yang dicapai melalui pembelajaran
mengenai sistem pencernaan manusia? Berapa banyakkah yang sadar sejarah
pentingnya mempelajari berbagai jenis sistem ekonomi di dunia? Atau pertanyaan
paling umum, apa tujuan kalian belajar?? Kira-kira akan kita dapati hasil yang
bagaimana?
Pendidikan
bukan sekedar belajar lantas hilang. Belasan tahun lantas selesai. Namun lebih
dari itu, pendidikan merupakan proses pemahaman yang menyeluruh dan menancap
kuat. Basis pendidikan sejatinya tercermin dari ideologi yang diemban
penyelenggara pendidikan (dalam hal ini pemerintah). Basis ideologi yang
digunakan dalam kehidupan akan mempengaruhi sistem pendidikan yang dijalankan
sehingga menghasilkan output yang
sesuai dengan harapan ideologi tersebut.
Cita-cita
pendidikan berkarakter namun dilandasi dengan ideologi kapitalisme-sekularisme
sebagaimana yang terjadi saat ini tentu saja hal yang kontradiktif. Wajar saja
realisasi paradigma pendidikan ini belum optimal. Terlihat dari masih banyaknya
ketimpangan moral pada siswa di Indonesia. Tawuran, seks bebas dan narkoba
masih tetap menjadi potret suram.
Belum
lagi jika mengamati banyaknya masalah yang terjadi dalam UN beberapa waktu lalu
terutama berkaitan dengan soal-soal HOTS (High
Order Thinking Skill) yang menjadi kontroversi. Terdapat “perang” antara Mendikbud dengan peserta didik yang didukung
oleh KPAI. Mendikbud menyatakan tingkat kesulitan soal UN sudah disesuaikan
dengan kemampuan siswa. Ia juga menyatakan kisi-kisi sudah disosialisasikan dan
diajarkan kepada siswa (Republika, 21/4).
Namun, KPAI justru melakukan
pembelaan dan menyatakan hal ini sebagai malpraktik dalam dunia pendidikan
dikarenakan soal tersebut diakui siswa tidak pernah diajarkan sebelumnya. (Detik,
17/4)
Fenomena
ini mengesankan betapa sulitnya UN yang dihadapi oleh peserta didik. Ujian pada
dasarnya merupakan upaya menilai sejauh mana kemampuan peserta didik dalam
memahami materi. Prosesnya pun tidak berjalan dengan tekanan berat. KI Hajar
Dewantara saja membangun pendidikan dengan memberi istilah “Taman Siswa”. Taman
merefleksikan sebuah tempat bermain dan belajar yang nyaman. Bukan tempat
mengerikan laksana kuburan.
Dimana pendidikan agama?
Racun sekularisme adalah sebenar-benar
malapetaka. Tak mengapa bercita-cita membentuk insan-insan yang cerdas dan
berkarakter. Namun bagaimana bisa jika agama tak digubris? Memisahkan agama
dari kehidupan selayaknya berjalan di dalam gelap tanpa cahaya. Kita patut
meyakini ilmu adalah baik namun keberkahan ilmu adalah sebaik-baik kebaikan.
Sistem pendidikan yang baik adalah
sistem yang berasal dari Sang Pencipta, ALLAH SWT. Pemahaman dihantarkan dengan
berasaskan pada ideologi Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi. Bukan pada
ideologi kapitalisme yang berorientasi materi dan angka semata.
Islam mengatur bahwa menuntut ilmu
adalah perkara yang wajib bagi setiap muslim dan merupakan kewajiban pula bagi
negara untuk memfasilitasi pemenuhan hak dasar ini, baik dari segi sarana dan
prasarana, penggajian tenaga pengajar, penyediaan bahan ajar bahkan sampai penyediaan
akses pendidikan kepada peserta didik yang mudah, murah bahkan gratis.
“Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia
akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendidikan
dalam Islam disandarkan pada ideologi Islam sehingga kurikulum yang digunakan
pun adalah kurikulum akidah Islam. Pendidikan Islam mendapatkan porsi yang
besar karena merupakan basis pembentukan pola pikir dan pola sikap yang akan
menghasilkan kepribadian Islam. Kepribadian Islam yang memang secara luas tak
bertentangan dengan nilai-nilai universal.
Kemana porsi pendidikan
umum/terapan? Tentu saja tetap tersedia, namun sifatnya tidak mengikat sebagaimana
pendidikan saat ini. Peserta didik bebas untuk mengeksplorasi potensi diri
dalam ilmu-ilmu terapan dalam rangka kemaslahatan umat tanpa dibatasi waktu
apalagi biaya. Peserta didik memang dipahamkan bahwa kontribusi keilmuan kepada
umat juga merupakan amal jariyah yang bernilai pahala di sisi ALLAH. Pendidikan
yang seperti inilah yang mencetak ilmuan besar seperti Ibnu Sina sang pakar
kedokteran, Al-Khawarizmi sang pakar matematika, Az-Zarkalli sang pakar
astronomi, Al-Idrisi sang pakar Geografi dan masih banyak lagi. Sekali lagi,
jelas, pendidikan bukan sekedar selesai hingga perkara dunia namun juga menjadi
penambah timbangan amal di yaumil hisab kelak.
Evaluasi pembelajaran pun senantiasa
dilaksanakan namun tak melulu berpatokan pada angka dan nilai sebagaimana UN.
Evaluasi tergambarkan dari kemampuan peserta didik paham akan hakikat diri,
alam semesta dan kehidupan. Kesuksesan pendidikan dapat dinilai dari
implementasi atau amalan para peserta didik yang senantiasa sesuai dengan hukum
syariat. Inilah wujud generasi pembangun peradaban cemerlang.
Jika kita teropong pendidikan
Indonesia saat ini. Sudah cukup intensif kah usaha mewujudkan insan terdidik
dengan melaksanakan pendidikan yang berdasarkan pemahaman yang bersumber dari
wahyu ALLAH? Jika belum mari berubah. Refleksikan Hari Pendidikan Nasional
dengan ketundukan, ketaatan dan ikhtiar mewujudkan tata kelola pendidikan
sesuai syariat Islam dalam naungan Khilafah. Tak perlu dengan nonton bareng
film Dilan