Adakah yang menyukai “perang”? Bisa dipastikan mayoritas akan menyatakan tidak. Hanya saja mari kita renungkan firman ALLAH SWT berikut.
“Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S
Al-Baqarah: 216).
Tatkala perasaan
mendominasi, sebuah sindiran halus ALLAH beri. Berharap hati menjadi tunduk dan
menyadari. Bahwa apapun dari ALLAH adalah yang terbaik dan tak terganti. Namun,
amati saja, saat ini banyak sekali narasi yang sangat cukup membuat mengelus
dada. Mulai dari Islam Nusantara, radikalisme hingga yang terbaru desakan salah
satu pimpinan ormas terkemuka untuk mengkaji ulang kurikulum dalam pelajaran
agama. “Bab sejarah Islam tentang perang dikurangi porsinya, misalnya perang
badar, perang uhud” tukas beliau (Republika, 29/7)
Istilah “perang” seolah
menjadi kata yang horor dipelajari dalam dunia pendidikan Indonesia. Kekeliruan
yang nyata nampak pada alasan dikorelasikan perang dengan kekhawatiran akan
kemunculan kaum radikalis. Hal yang sungguh menggelikan justru tafsir radikal
sendiri masih belum secara terang terdeskripsikan.
Penggiringan opini lagi
dan lagi amat tersaji dalam hidangan narasi-narasi beraroma liberal. Bagaimana
tidak, desakan ini menunjukkan bentuk penolakan terhadap sebagian ajaran Islam.
Peperangan dalam penakhlukan berbagai wilayah untuk bersatu dalam daulah Islam
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban dan perkembangan
Islam. Peristiwa inipun nyatanya tak sebatas histori, namun menyimpan berbagai
ibroh yang seharusnya dipetik oleh kaum muslim.
Jika memang terminologi
perang dikaitkan kemunculan kaum radikalis, maka sebuah solusi yang hadir bukan
justru menghindari untuk mempelajarinya, melainkan haruslah dipelajari dengan
tepat tafsir perang yang dimaksudkan dalam terminologi Islam. Terlebih korelasi
ini diiringi dengan harapan beliau agar umat muslim lebih memahami ayat-ayat
Al-Qur’an dan mengamalkannya. Hal ini demi terciptanya akhlakul karimah yang
menjadi sebab terciptanya toleransi antar agama. Lantas desakan untuk
mengurangi porsi bahasan sejarah perang bukankah bagian dari upaya
diskriminatif atas sebagian ajaran Islam yang jelas-jelas dibahas di dalam
Al-Quran? Mengamalkan yang satu dan meninggalkan yang lain. Inilah sebuah kerangka
kekacauan berpikir.
Alhasil, ketidaksingkronan
ini merupakan dagelan abad modern. Tafsir intoleransi yang selalu bersinggungan
dengan perang sejatinya bentuk distorsi terhadap syariat Islam. Kembali merujuk
pada firman ALLAH yang dibahas di paragraf awal, tidak sepantasnya manusia
menimbang-nimbang perkara baik dan buruk dalam syariat ALLAH. Tugas manusia
hanyalah menjadi hamba yang tunduk dan taat menjalankan seluruh syariat Islam.
Karena secanggih apapun, kacamata manusia takkan mampu menandingi kacamata
ALLAH. Wallahu a’lam bis shawab.