Minggu, 25 Maret 2018

STUDENT LOAN DAN CEKIKAN RIBA

           Pendidikan merupakan aspek yang krusial dalam membentuk peradaban suatu bangsa yang gemilang.  Pendidikan juga dianggap menjadi sumber terciptanya generasi-generasi yang cerdas dan mampu mencerdaskan. Pemerintah pun menyadari pentingnya peran pendidikan. Berbagai upaya terus dilakukan untuk mendorong kesempatan pemuda dan pemudi Indonesia untuk mampu mengenyam pendidikan.
Belakangan, Jokowi dalam pertemuannya bersama para petinggi perbankan (15/3/2018) di Istana Negara menggagas sebuah ide yang sebenarnya tidak cukup asing dalam dunia pendidikan yakni student loan. Student loan merupakan suatu pinjaman atau kredit dari perbankan yang dialokasikan untuk dunia pendidikan sebagai upaya untuk membantu para mahasiswa yang kesulitan untuk membayar uang kuliah. Pinjaman digadang-gadang akan diupayakan dengan mudah, tanpa agunan dan bunga kecil. Selain itu, mahasiswa dapat menyicil pinjaman tersebut selama kuliah, setelah mendapat beasiswa atau setelah lulus dan mendapat pekerjaan.

Analisis atas Student Loan
Kebijakan student loan merupakan kebijakan yang sangat memerlukan sinergi antara perbankan dan perguruan tinggi. Pasalnya, kebijakan ini nyatanya tidak murni digalakkan demi kemaslahatan dunia pendidikan, namun juga sebagai upaya mendorong tercapainya target pertimbuhan kredit perbankan. Perbankan tentu saja tidak serta merta menyetujui kebijakan ini, risk and return menjadi suatu keharusan. Pasalnya tak sedikit dijumpai masalah dari penerapan kebijakan ini seperti adanya kredit macet. Terlepas dari hal tersebut nyatanya return atau bisa dikatakan manfaat yang ada dibalik kebijakan ini telah mendorong perbankan menyetujui kebijakan ini.
Jika kita mengamati kebijakan ini, tentu kita akan terpana betapa mengagumkan kepedulian pemerintah mengatur urusan pendidikan. Betapa peduli pemerintah pada nasib mahasiswa tingkat akhir yang biasa kehabisan dana untuk menyelesaikan studi atau melakukan penelitian. Namun, sejatinya justru kebijakan ini merupakan kebijakan yang salah kaprah.
Urusan pendidikan merupakan urusan mendasar sebuah negara yang memang seharusnya diatur oleh pemerintah, baik dari segi pendanaan, pengelolaan, infrastruktur, sumber daya pengajar dan lain sebagainya. Berkaitan dengan pengelolaan, urusan pendidikan sejatinya tidak bisa digerakkan dengan pola transaksi jual beli atau hutang piutang sebagaimana yang terjadi dalam kebijakan student loan. Pasalnya, pendidikan sebagai hak mendasar rakyat haruslah diberikan dengan semurah mungkin bahkan gratis.
Disamping itu, adanya bunga yang mengikuti kredit yang diberikan menambah erat cekikan di leher para pengejar ilmu untuk membayar dan juga menambah cekikan di akhirat karena dosa riba yang didapat. Pemerintah terus saja menstimulus rakyat untuk terlibat dalam transaksi-transaksi ribawi. Budaya berhutang dianggap sebagai solusi ketika terjebak dalam masalah pendanaan. Padahal seharusnya dipahami riba merupakan sumber malapetaka di dalam perekonomian bangsa. Al-Quran juga telah secara tegas melarang transaksi yang mengandung riba dan mengutuk berulangnya transaksi riba yang dilakukan. ALLAH SWT berfirman:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, ALLAH telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada ALLAH. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Q.S. Al-Baqarah: 275).
Pengelolaan pendidikan dengan memanfaatkan peran perbankan sebagai penyalur dana kredit mencirikan sistem pendidikan kapitalistik neoliberal. Asas manfaat dari sisi perbankan yang ada dibalik penyaluran kredit berbunga ringan untuk pendidikan ini menunjukkan lalainya pemerintah untuk memahami konsep pendidikan secara luas. Pendidikan bukan lagi dimaknai hak dasar setiap rakyat yang wajib dipenuhi namun sebatas bagi rakyat yang memiliki uang atau mau berhutang.

Islam dan Pengelolaan Pendidikan
Islam secara tegas menerangkan bahwa pendidikan merupakan hak kolektif rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Pemenuhannya tidak boleh dilakukan dan diafiliasikan dengan sesuatu yang menjadikan beban bagi rakyat. Pendidikan haruslah diberikan dengan seoptimal mungkin tanpa kompensasi.
Visi dan misi pendidikan pun haruslah diarahkan untuk kecemerlangan peradaban Islam, bukan untuk kepentingan semakin menancapkan hegemoni kapitalis barat. Pendidikan haruslah diupayakan untuk membentuk generasi yang berkualitas dan berakhlak mulia bukan justru menjerumuskan pada aktivitas dosa. Hal yang telah terlepas dari sistem pendidikan saat ini adalah pencapaian tujuan-tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri.
Bukankah ALLAH telah secara terang menjelaskan kemuliaan seorang penuntut ilmu. Lantas apakah ALLAH akan ridho jika seorang penuntut ilmu justru menjadikan riba sebagai wasilah meraih ilmu. Akankah keberkahan ilmu akan didapat? Sungguh ironi. Pengelolaan pendidikan dengan sistem Islam merupakan sebuah urgensi. Karena hanya sistem Islam yang mampu menempatkan pendidikan dalam posisi yang strategis dan sesuai dengan nilai luhur pendidikan itu sendiri. Pengelolaan pendidikan secara gratis bukanlah hal yang mustahil jika saja pemerintah tidak berpasrah menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak asing dan swasta. Wallahu alam bishawab.

Jumat, 23 Maret 2018

TAK ASIN LAGI KAH LAUT INDONESIA?

       Tahun 2018 nampaknya masih menjadi tahun impor bagi pemerintah. Bagaimana tidak, setelah sebelumnya pemerintah melakukan impor beras untuk menutupi kekurangan beras di awal tahun, sekarang pemerintah melakukan impor (lagi) atas garam industri sebesar 3,7 juta ton. Berbagai spekulasi bahkan cibiran muncul dari masyarakat. Kritik pedas mencuat “Tak asin lagi kah laut Indonesia hingga impor harus dilakukan?”. Kalimat sarkas ini tidak akan muncul jika saja pemerintah mampu serius dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam di negeri khatulistiwa ini. Laut Indonesia yang jauh lebih luas dibandingkan negara pengekspor seharusnya menjadikan pemerintah malu terhadap rakyatnya dan juga negara pengekspor tersebut.
Pemerintah berdalih terdapat banyak pertimbangan yang mengharuskan impor dilakukan. Pertama, adanya kebutuhan garam industri yang sangat besar di Indonesia, sedangkan produksi domestik masih belum mampu memenuhi permintaan tersebut. Selain itu, kualitas garam di Indonesia dinilai masih rendah dengan kadar Natrium Chlorida (NaCl) belum mampu mencapai standar kualitas garam untuk industri. Ditambah lagi, teknologi pengelolaan garam di Indonesia dinilai masih minim.
Pemerintah seharusnya bertanggung jawab dan serius dalam membangun kedaulatan pangan tak terkecuali garam ini. Menyoal alasan pertama sejatinya tidak bisa menjadikan kebijakan impor menjadi kebijakan paling benar yang selalu digunakan pemerintah untuk menanggulangi masalah tingginya permintaan garam industri domestik. Pasalnya, impor bukan pertama kali dilakukan, melainkan sudah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya. Dengan alasan yang sama, pemerintah terus saja mengambil solusi pragmatis tersebut dan selalu mengumumkan impor dalam keadaan mendesak.
Permasalahan kualitas garam pun sejatinya sebuah tugas besar pemerintah. Penilaian kualitas garam domestik yang dianggap masih rendah tak ada gunanya jika hanya sebatas penilaian. Adanya penilaian seharusnya mendorong upaya untuk meningkatkan kemampuan pelaku usaha garam dengan menggandeng para ilmuan, lembaga riset dan juga perguruan tinggi. Selain itu pemerintah harus senantiasa mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi pengembangan garam industri. Tentu solusi ini bukan solusi yang mudah dan murah untuk dilakukan. Pemerintah haruslah berkomitmen dalam solusi jangka panjang mencerdaskan petani garam dan menyediakan anggaran yang cukup.
Realitas ini menunjukkan pemerintah belum sukses dalam posisinya sebagai pengurus urusan rakyat. Adanya amanah yang diemban pemerintah dalam menyejahteraan rakyat nyatanya masih belum mengarahkan pada tindakan yang pro rakyat. Semakin hari justru pemerintah semakin kesulitan untuk memenuhi janjinya terlihat dari banyaknya kebijakan yang semakin menyakiti rakyat seperti pajak dan utang luar negeri yang meningkat. Hal ini tidak terlepas dari kapitalisme dan neoliberalisme yang merongrong tiap sendi kehidupan. Pemerintah menjadi tak berdaya karena “kalah” dengan kuasa dari para pemilik modal. Pemerintah disetir dan dipaksa kehadirannya hanya sebagai fasilitator.
Sejatinya, setiap kebijakan yang diambil pemerintah akan dipertanggungjawabkan di hadapan ALLAH SWT kelak di akhirat. Tidak sepatutnya pemerintah ingkar. Islam yang tidak hanya sebagai agama tapi juga problem solver sudah menuntun mengenai bagaimana peran negara dalam upaya mengurus dan menyejahterakan rakyatnya. Hal ini tentu takkan mampu dicapai dengan sistem kapitalisme- neo liberalisme namun harus bersumber dari aturan Sang Maha Pencipta yang Maha Mengetahui yakni ALLAH SWT.

Rabu, 14 Maret 2018

MANAJEMEN TITIK TERLEMAH

Manusia selalu diuji pada titik terlemah mereka. Masing-masing orang tentu memiliki titik terlemah yang berbeda. Kita kerapkali mengeluh kenapa untuk masalah yang sama, setiap orang akan mampu merespon dengan berbeda. Ada yang menyikapi dengan bijak, sabar, kesal atau justru menyalahkan takdir. 

Sesungguhnya terdapat 3 tingkat untuk bisa menghadapi masalah di titik terlemah diri:
1. Ketahui dan sadari titik terlemah itu. Jika mungkin hal itu tertutup di mata kita maka cobalah ketahui dari orang-orang yang dapat menilai diri kita secara objektif.
2. ‎Pahami sebab kelemahan itu dan berusahalah mencari solusi yang mampu mencabut akar masalah. Jangan terlena dengan solusi parsial dan temporal. Hal ini agar jika suatu ketika kita dihadapkan masalah yang hampir mirip tentu kita tetap bisa mengatasi sesuai solusi tadi. Selain itu, akar solusi ini akan menjadi pendorong terciptanya solusi-solusi teknis yang mampu mengoptimalkan upaya mengubah kelemahan menjadi kekuatan.
3. ‎Selalu mengingat. Sifat alamiah manusia memang lemah dan terbatas. Sikap panik, resah dan galau pasti terjadi ketika masalah di titik terlemah tiba-tiba datang. Sifat alamiah setan juga memanfaatkan celah kekhilafan manusia ini. Itulah kemudian pentingnya ada teman atau sahabat dalam ketaatan yang mampu mendengarkan masalah tersebut meski itu bisa jadi hanya masalah "receh" baginya. Agama adalah nasihat. Jangan sungkan untuk selalu minta nasihat dari sahabat-sahabat sholehah.

Tingkatan ini dapat menjadi bahan untuk merenungi sejauh mana kita sudah mendalami kelemahan diri kita. Atau justru kita tak ada usaha mendalami sehingga membiarkan kelemahan itu menjadi kebiasaan yang pada akhirnya menghancurkan diri kita sendiri.
Naudzubillahi min dzalik.

BILA DENGAN ISLAM PEREMPUAN MULIA, MENGAPA HARUS FEMINISME? (Sebuah analisis komparasi)

        Delapan maret merupakan hari yang dijadikan momentum terbesar bagi kaum perempuan di seluruh dunia. Berdasarkan penetapan PBB, delapan maret merupakan hari perempuan internasional yang diinisiasi atas gejolak tuntutan hal berpendapat dan berpolitik kalangan pekerja perempuan di Amerika Serikat. Delapan maret yang diperingati hampir setiap tahun di berbagai belahan dunia juga dimanfaatkan oleh kaum kaum feminis untuk menyuarakan tuntutan mereka yang dianggap merupakan keinginan seluruh perempuan di dunia. Benarkah demikian?
Banyaknya diskriminasi dan kekerasan yang menimpa kaum perempuan di dunia merupakan salah satu penyebab semakin derasnya tuntutan ini. Kaum feminis terus beranggapan bahwa konsep kesetaraan gender (gender equality) merupakan solusi permasalahan ini. Berbagai hukum agama dan budaya yang tak mendukung ide ini dianggap menjadi ancaman. Oleh karenanya tak henti-hentinya kaum feminis (yang juga termasuk didalamnya muslimah) menuntut pemerintah untuk mengadopsi pandangan yang mereka usung. Pertanyaannya, apakah memang tuntutan ini sesuai dengan apa yang dibutuhkan kaum perempuan? Penting adanya memahami secara mendalam delapan tuntutan women march dan melakukan komparasi dengan pandangan Islam terhadap perempuan.

Menyoal delapan tuntutan women’s march 2018

Kaum feminis Indonesia dalam rangkaian women’s march 2018 sebagaimana dikutip dari instagram resmi mengajukan delapan tuntutan. Pertama, menghapus hukum dan kebijakan yang diskriminatif dan melanggengkan kekerasan berbasis gender. Hal ini bermakna bahwa segala kebijakan baik yang didopsi dari pandangan agama atau budaya yang dianggap diskriminatif haruslah dihapus. Tentu hal ini tak menutup kemungkinan akan juga menyasar hukum Islam yang dianggap kaum feminis sebagai hukum diskriminatif seperti hukum menutup aurat, hukum waris, hukum poligami dan lain sebagainya. Pasalnya, beberapa tuntutan yang terlihat dari orasi dan poster para peserta sangat massif menyoal kebebasan terutama dalam aspek berpakaian.
Tuntutan kedua yakni mengesahkan hukum dan kebijakan yang melindungi perempuan, anak, masyarakat adat, kelompok difabel, kelompok minoritas gender dan seksual dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Sejalan dengan tuntutan pertama, akhirnya tuntutan adanya hukum dan kebijakan yang sejalan dengan pemikiran feminis pun akan berusaha ditegakkan. Hal ini menunjukkan adanya arogansi untuk memaksakan pandangan berbasis kesetaraan gender untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga mengesampingkan adopsi hukum lain. Berbeda dengan Islam yang notabene bukan menjadikan hukum buatan manusia sebagai landasan, melainkan syariat yang benar-benar datang dari sang pencipta. Pencipta yang Maha mengetahui segala hal tentang ciptaanNya.
Poin ketiga yang dituntut adalah menyediakan akses keadilan dan pemulihan terhadap korban kekerasan berbasis gender. Mengenai poin ketiga ini, Islam sejatinya telah mengatur urgensi adanya keadilan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surah As-syuuraa: 15. Bahkan sangat ditegaskan untuk berlaku adil kepada siapapun meski terdapat rasa tidak suka terhadap kaum tersebut sebagaimana ditegaskan dalam surah al maidah: 8.
Poin keempat adalah menghentikan intervensi negara dan masyarakat terhadap tubuh dan seksualitas warga negara. Ada hal yang rancu dari tuntutan keempat yang diajukan. Di tuntutan awal, kaum feminis mengajukan agar pemerintah menghapus kebijakan diskriminatif dan mendorong kebijakan yang melindungi dari diskriminasi berbasis gender. Nyatanya, kemudian menuntut pula negara tak lagi ikut campur dalam masalah individu yakni tubuh dan seksualitas. Do what I say and let me do what I want then. Hal ini tentunya bertentangan dengan Islam. Islam mengatur bahwa negara haruslah hadir sebagai pengatur masyarakat sesuai dengan syariat Islam. Negara berperan sangat penting dalam upaya mengatur dan menjaga keharmonisan sosial di bawah sistem Islam.
Tuntutan kelima berfokus pada penghapusan stigma dan diskriminasi berbasis gender, seksualitas dan status kesehatan. Tuntutan ini menjurus kepada upaya untuk mentoleransi keberadaan kaum yang memiliki orientasi perilaku menyimpang. Adanya stigma masyarakat akan perilaku menyimpang memang wajar adanya, karena budaya Indonesia memang tidak mengenal jenis perilaku tersebut dan umat Islam pada khususnya menyadari perilaku menyimpang merupakan perilaku maksiat yang akan mendatangkan dosa dan kemurkaan Allah. Stigma yang dianggap bagian dari diskriminasi tersebut nyatanya merupakan bentuk amar ma’ruf nahi mungkar dan dalam rangka menciptakan kehidupan sosial yang harmonis dan diridhoi Allah SWT. Hal inipun sejalan dengan perintah Allah SWT.
T            untutan keenam adalah menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender, kesehatan, lingkungan hidup dan pekerjaan melalui program pendidikan dan pencegahan kekerasan berbasis gender. Disusul dengan tuntutan ketujuh yang cukup mirip yakni menyelesaikan akar kekerasan berbasis gender yaitu pemiskinan perempuan, khususnya perempuan buruh industri, konflik SDA, pekerja imigran, perempuan narkotika, pekerja seks dan pekerja domestik.  Praktik dan budaya kekerasan pada dasarnya dapat dipahami dari perspektif Islam. Islam telah memberikan penjelasan bahwa syariat Islam jika terterapkan secara keseluruhan akan mampu mencegah tindakan kekerasan. Sebagai contoh, pemerkosaan dapat dicegah dengan adanya pengaturan berlapis mulai dari masalah akidah sampai kepada urusan persanksian. Sekularisme yang menggerogoti manusia telah menyebabkan tidak terterapkannya sistem Islam secara total didalam kehidupan. Inilah sejatinya akar dari segala permasalahan.
Tuntutan terakhir yakni mengajak masyarakat berpartisipasi aktif menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender di lingkungan hukum, kesehatan, lingkungan hidup dan pekerjaan. Tuntutan terakhir ini sifatnya lebih kepada persuasi agar masyarakat dan negara bersinergi dalam upaya menghapus kekerasan berbasis gender. Sekali lagi, tuntutan ini nyatanya merupakan sesuatu yang sudah ada di dalam Islam. Basis keimanan yang kuat yang terwujud dalam penerapan syariat Islam secara kaffah nyatanya adalah bentuk sinergi terbaik masyarakat dan negara untuk memuliakan perempuan.
Sayangnya, ide kesetaraan gender yang bersumber dari sekularisme dan liberalisme yang sudah digadang-gadangkan selama puluhan tahun dan beberapa sudah terpenuhi tetap tidak mampu menjadikan perempuan semakin mulia dan bahagia. Hanya semakin membuat perempuan menderita dan terhina. Islam telah memberikan pengaturan yang dapat memuliakan perempuan semisal dijaganya kehormatan dengan perintah menutup aurat, menundukkan pandangan bagi kaum laki-laki, dilarangnya pornografi, dilarangnya khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan) serta masih banyak lainnya. Kesemua ini sesungguhnya bentuk kecintaan dan penjagaan Islam kepada perempuan. Jika dengan Islam perempuan mulia, kenapa harus feminisme?

“DILAN”da NOSTALGIA (PENGUASA ZAMAN OLD VS PENGUASA ZAMAN NOW)

        Nostalgia tahun 1990-an tengah mengharu biru terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia beberapa waktu terakhir. Kehadiran “DILAN” sukses membuat masyarakat dilanda baper yang mendalam entah baper karena alur cerita, tokoh cerita atau justru karena ikut-ikutan saja. Virus DILAN nyatanya mampu menyebar dari anak muda ke orang dewasa bahkan sampai kepada Presiden RI, Joko Widodo. Minggu (25/2) Jokowi bersama putri dan menantunya menonton bersama film yang dibintangi Iqbaal Ramadhan tersebut.
Kehadiran Jokowi yang meluangkan waktunya untuk menonton film Dilan menimbulkan banyak komentar di sosial media. Sebagian berkomentar pedas dengan menanyakan pantaskah seorang pemimpin yang negerinya tengah dilanda banyak masalah justru masih punya waktu untuk menonton film? Namun sebagian lain juga datang untuk membela dengan menyatakan presiden juga manusia, adalah haknya untuk mendapat hiburan. Well… kalau sudah begini bagaimana kita harus memandang posisi penguasa? Untuk menjawab pertanyaan ini paling enak juga dengan ikut bernostalgia dengan kepemimpinan penguasa zaman old. Dari sini kita (dan penguasa tentunya) bisa belajar untuk mampu memandang posisi penguasa sebagaimana seharusnya.
Siapa yang tidak mengenal Umar bin Khattab? Umar bin Khattab merupakan salah satu penguasa yang dikenal sukses membawa kejayaan dalam kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan Umar bin Khattab dikenal sangat merakyat, siap menerima kritik dan sangat mengutamakan kepentingan rakyat. Merakyat yang dimaksud terbukti dengan sikap Umar yang sangat sederhana, hingga pernah suatu ketika ia bertemu dengan seorang nenek tua renta yang mengeluh tentang kezaliman sang Khalifah yang tak lain Umar sendiri. Nenek tersebut tidak mengenal Sang Khalifah karena penampilan sederhananya. Sikap siap menerima kritik juga tercermin dari sini dengan terbukti Umar mendengarkan dengan seksama kritik yang disampaikan nenek tersebut. Bahkan Umar menangis karena perasaan bersalah dan ketakutan kepada ALLAH SWT atas keteledorannya dan bersegera melakukan evaluasi dan koreksi.
Nilai-nilai Islam yang ada dalam diri Umar bin Khattab nyatanya telah membentuk kepribadian yang luar biasa. Umar tak segan, tak lelah dan tak malu untuk secara diam-diam melakukan patroli di tengah malam yang senyap untuk mengecek keadaan rakyatnya. Ia dengan sigap memikul sendiri gandum di bahunya demi segera menyerahkan ke keluarga yang membutuhkan. Konsep altruisme yang dikenal sekarang justru sudah terterapkan oleh Khalifah Umar tanpa ia harus mengetahui istilah tersebut. Pemahaman bahwa menjadi pemimpin adalah amanah membawa konsekuensi pada upaya yang optimal dari penguasa untuk benar-benar mengurus rakyatnya. Satu orang saja rakyat yang terzalimi dengan penguasa akan menjadi persaksian di hari kiamat kelak.
Bagaimana dengan penguasa zaman now? Keluhan ribuan rakyat yang menjadi korban banjir di berbagai daerah dan rintihan lapar dari suku Asmat sudahkah didengar, sudahkah ditangani dengan segera? Silahkan bernostalgia dengan kepemimpinan Umar bin Khattab.
Turun tiga generasi dari kepemimpinan Umar, kita juga menjumpai kepemimpinan luar biasa dari Umar bin Abdul Aziz. Beliau merupakan pemimpin yang dikenal dengan kerendahan hatinya dan ketundukan dirinya kepada ALLAH SWT. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun” merupakan kalimat pertama yang ia ucapkan seketika dibaiat menjadi khalifah. Disusul dengan tangisan yang bahkan tak mampu dihibur oleh penyair terbaik di zamannya. Betapa kekuasaan merupakan sebuah musibah bagi diri Umar. Selepas dibaiat hari-hari Umar tak ada habisnya selain mengurus rakyat dan beribadah kepada ALLAH SWT. Betapa ia memohon kepada ALLAH SWT untuk bisa menjalankan amanah itu dengan baik. Terbukti hanya dalam waktu tiga puluh bulan rakyat merasakan kesejahteraan secara merata.
Bagaimana dengan penguasa zaman now? Apa hal utama yang dilakukan penguasa seketika dinyatakan terpilih. Berduka atau berpesta pora? Apa setelahnya yang terus dilakukan? Mengurus rakyat atau kembali sibuk menyusun strategi untuk memenangkan pemilu selanjutnya. Silahkan bernostalgia dengan kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.
Islam telah secara tegas menyampaikan bahwa merupakan sebuah keharusan bagi seorang pemimpin untuk bersikap adil dan amanah mengurus rakyatnya. Sikap zalim dan ingkar akan mengantarkan pada kemurkaan ALLAH SWT dan diharamkan surga baginya. Sebagaimana Rasulullah SAW dalam Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim menyatakan “Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” Hal ini menuntut seorang pemimpin untuk sejatinya memahami tugasnya sebagai seorang pemimpin untuk lebih memprioritaskan waktunya untuk mengurus rakyat.
Figur pemimpin yang amanah dan qonaah telah tercermin dari para penguasa zaman old. Ketundukannya kepada syariat ALLAH SWT telah mampu mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan peradaban yang cemerlang. Penguasa zaman now seharusnya bisa belajar dari penguasa zaman old. “DILAN”da nostalgia penguasa zaman old lebih bermanfaat, bukan?

SEGALA YANG BARU

Assalamualaikum...
Selamat datang di blog terbaru saya, setelah sebelumnya beberapa blog sudah tidak digunakan.
Bismillah semoga blog ini bermanfaat  ....