Tahun 2018 nampaknya masih menjadi tahun
impor bagi pemerintah. Bagaimana tidak, setelah sebelumnya pemerintah melakukan
impor beras untuk menutupi kekurangan beras di awal tahun, sekarang pemerintah
melakukan impor (lagi) atas garam industri sebesar 3,7 juta ton. Berbagai
spekulasi bahkan cibiran muncul dari masyarakat. Kritik pedas mencuat “Tak asin
lagi kah laut Indonesia hingga impor harus dilakukan?”. Kalimat sarkas ini
tidak akan muncul jika saja pemerintah mampu serius dalam melakukan pengelolaan
sumber daya alam di negeri khatulistiwa ini. Laut Indonesia yang jauh lebih
luas dibandingkan negara pengekspor seharusnya menjadikan pemerintah malu
terhadap rakyatnya dan juga negara pengekspor tersebut.
Pemerintah berdalih terdapat
banyak pertimbangan yang mengharuskan impor dilakukan. Pertama, adanya
kebutuhan garam industri yang sangat besar di Indonesia, sedangkan produksi domestik
masih belum mampu memenuhi permintaan tersebut. Selain itu, kualitas garam di
Indonesia dinilai masih rendah dengan kadar Natrium Chlorida (NaCl) belum mampu
mencapai standar kualitas garam untuk industri. Ditambah lagi, teknologi
pengelolaan garam di Indonesia dinilai masih minim.
Pemerintah seharusnya
bertanggung jawab dan serius dalam membangun kedaulatan pangan tak terkecuali
garam ini. Menyoal alasan pertama sejatinya tidak bisa menjadikan kebijakan
impor menjadi kebijakan paling benar yang selalu digunakan pemerintah untuk
menanggulangi masalah tingginya permintaan garam industri domestik. Pasalnya,
impor bukan pertama kali dilakukan, melainkan sudah terjadi sejak tahun-tahun
sebelumnya. Dengan alasan yang sama, pemerintah terus saja mengambil solusi
pragmatis tersebut dan selalu mengumumkan impor dalam keadaan mendesak.
Permasalahan kualitas
garam pun sejatinya sebuah tugas besar pemerintah. Penilaian kualitas garam
domestik yang dianggap masih rendah tak ada gunanya jika hanya sebatas
penilaian. Adanya penilaian seharusnya mendorong upaya untuk meningkatkan
kemampuan pelaku usaha garam dengan menggandeng para ilmuan, lembaga riset dan
juga perguruan tinggi. Selain itu pemerintah harus senantiasa mengembangkan dan
mengaplikasikan teknologi pengembangan garam industri. Tentu solusi ini bukan
solusi yang mudah dan murah untuk dilakukan. Pemerintah haruslah berkomitmen
dalam solusi jangka panjang mencerdaskan petani garam dan menyediakan anggaran
yang cukup.
Realitas ini menunjukkan
pemerintah belum sukses dalam posisinya sebagai pengurus urusan rakyat. Adanya
amanah yang diemban pemerintah dalam menyejahteraan rakyat nyatanya masih belum
mengarahkan pada tindakan yang pro rakyat. Semakin hari justru pemerintah
semakin kesulitan untuk memenuhi janjinya terlihat dari banyaknya kebijakan
yang semakin menyakiti rakyat seperti pajak dan utang luar negeri yang
meningkat. Hal ini tidak terlepas dari kapitalisme dan neoliberalisme yang
merongrong tiap sendi kehidupan. Pemerintah menjadi tak berdaya karena “kalah”
dengan kuasa dari para pemilik modal. Pemerintah disetir dan dipaksa
kehadirannya hanya sebagai fasilitator.
Sejatinya, setiap
kebijakan yang diambil pemerintah akan dipertanggungjawabkan di hadapan ALLAH
SWT kelak di akhirat. Tidak sepatutnya pemerintah ingkar. Islam yang tidak
hanya sebagai agama tapi juga problem
solver sudah menuntun mengenai bagaimana peran negara dalam upaya mengurus
dan menyejahterakan rakyatnya. Hal ini tentu takkan mampu dicapai dengan sistem
kapitalisme- neo liberalisme namun harus bersumber dari aturan Sang Maha
Pencipta yang Maha Mengetahui yakni ALLAH SWT.
0 komentar:
Posting Komentar