Jumat, 23 Maret 2018

TAK ASIN LAGI KAH LAUT INDONESIA?

       Tahun 2018 nampaknya masih menjadi tahun impor bagi pemerintah. Bagaimana tidak, setelah sebelumnya pemerintah melakukan impor beras untuk menutupi kekurangan beras di awal tahun, sekarang pemerintah melakukan impor (lagi) atas garam industri sebesar 3,7 juta ton. Berbagai spekulasi bahkan cibiran muncul dari masyarakat. Kritik pedas mencuat “Tak asin lagi kah laut Indonesia hingga impor harus dilakukan?”. Kalimat sarkas ini tidak akan muncul jika saja pemerintah mampu serius dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam di negeri khatulistiwa ini. Laut Indonesia yang jauh lebih luas dibandingkan negara pengekspor seharusnya menjadikan pemerintah malu terhadap rakyatnya dan juga negara pengekspor tersebut.
Pemerintah berdalih terdapat banyak pertimbangan yang mengharuskan impor dilakukan. Pertama, adanya kebutuhan garam industri yang sangat besar di Indonesia, sedangkan produksi domestik masih belum mampu memenuhi permintaan tersebut. Selain itu, kualitas garam di Indonesia dinilai masih rendah dengan kadar Natrium Chlorida (NaCl) belum mampu mencapai standar kualitas garam untuk industri. Ditambah lagi, teknologi pengelolaan garam di Indonesia dinilai masih minim.
Pemerintah seharusnya bertanggung jawab dan serius dalam membangun kedaulatan pangan tak terkecuali garam ini. Menyoal alasan pertama sejatinya tidak bisa menjadikan kebijakan impor menjadi kebijakan paling benar yang selalu digunakan pemerintah untuk menanggulangi masalah tingginya permintaan garam industri domestik. Pasalnya, impor bukan pertama kali dilakukan, melainkan sudah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya. Dengan alasan yang sama, pemerintah terus saja mengambil solusi pragmatis tersebut dan selalu mengumumkan impor dalam keadaan mendesak.
Permasalahan kualitas garam pun sejatinya sebuah tugas besar pemerintah. Penilaian kualitas garam domestik yang dianggap masih rendah tak ada gunanya jika hanya sebatas penilaian. Adanya penilaian seharusnya mendorong upaya untuk meningkatkan kemampuan pelaku usaha garam dengan menggandeng para ilmuan, lembaga riset dan juga perguruan tinggi. Selain itu pemerintah harus senantiasa mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi pengembangan garam industri. Tentu solusi ini bukan solusi yang mudah dan murah untuk dilakukan. Pemerintah haruslah berkomitmen dalam solusi jangka panjang mencerdaskan petani garam dan menyediakan anggaran yang cukup.
Realitas ini menunjukkan pemerintah belum sukses dalam posisinya sebagai pengurus urusan rakyat. Adanya amanah yang diemban pemerintah dalam menyejahteraan rakyat nyatanya masih belum mengarahkan pada tindakan yang pro rakyat. Semakin hari justru pemerintah semakin kesulitan untuk memenuhi janjinya terlihat dari banyaknya kebijakan yang semakin menyakiti rakyat seperti pajak dan utang luar negeri yang meningkat. Hal ini tidak terlepas dari kapitalisme dan neoliberalisme yang merongrong tiap sendi kehidupan. Pemerintah menjadi tak berdaya karena “kalah” dengan kuasa dari para pemilik modal. Pemerintah disetir dan dipaksa kehadirannya hanya sebagai fasilitator.
Sejatinya, setiap kebijakan yang diambil pemerintah akan dipertanggungjawabkan di hadapan ALLAH SWT kelak di akhirat. Tidak sepatutnya pemerintah ingkar. Islam yang tidak hanya sebagai agama tapi juga problem solver sudah menuntun mengenai bagaimana peran negara dalam upaya mengurus dan menyejahterakan rakyatnya. Hal ini tentu takkan mampu dicapai dengan sistem kapitalisme- neo liberalisme namun harus bersumber dari aturan Sang Maha Pencipta yang Maha Mengetahui yakni ALLAH SWT.

0 komentar:

Posting Komentar