Jumat, 21 September 2018

"WAR" on Curriculum

           
         Adakah yang menyukai “perang”? Bisa dipastikan mayoritas akan menyatakan tidak. Hanya saja mari kita renungkan firman ALLAH SWT berikut.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah: 216).
Tatkala perasaan mendominasi, sebuah sindiran halus ALLAH beri. Berharap hati menjadi tunduk dan menyadari. Bahwa apapun dari ALLAH adalah yang terbaik dan tak terganti. Namun, amati saja, saat ini banyak sekali narasi yang sangat cukup membuat mengelus dada. Mulai dari Islam Nusantara, radikalisme hingga yang terbaru desakan salah satu pimpinan ormas terkemuka untuk mengkaji ulang kurikulum dalam pelajaran agama. “Bab sejarah Islam tentang perang dikurangi porsinya, misalnya perang badar, perang uhud” tukas beliau (Republika, 29/7)
Istilah “perang” seolah menjadi kata yang horor dipelajari dalam dunia pendidikan Indonesia. Kekeliruan yang nyata nampak pada alasan dikorelasikan perang dengan kekhawatiran akan kemunculan kaum radikalis. Hal yang sungguh menggelikan justru tafsir radikal sendiri masih belum secara terang terdeskripsikan.
Penggiringan opini lagi dan lagi amat tersaji dalam hidangan narasi-narasi beraroma liberal. Bagaimana tidak, desakan ini menunjukkan bentuk penolakan terhadap sebagian ajaran Islam. Peperangan dalam penakhlukan berbagai wilayah untuk bersatu dalam daulah Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban dan perkembangan Islam. Peristiwa inipun nyatanya tak sebatas histori, namun menyimpan berbagai ibroh yang seharusnya dipetik oleh kaum muslim.
Jika memang terminologi perang dikaitkan kemunculan kaum radikalis, maka sebuah solusi yang hadir bukan justru menghindari untuk mempelajarinya, melainkan haruslah dipelajari dengan tepat tafsir perang yang dimaksudkan dalam terminologi Islam. Terlebih korelasi ini diiringi dengan harapan beliau agar umat muslim lebih memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan mengamalkannya. Hal ini demi terciptanya akhlakul karimah yang menjadi sebab terciptanya toleransi antar agama. Lantas desakan untuk mengurangi porsi bahasan sejarah perang bukankah bagian dari upaya diskriminatif atas sebagian ajaran Islam yang jelas-jelas dibahas di dalam Al-Quran? Mengamalkan yang satu dan meninggalkan yang lain. Inilah sebuah kerangka kekacauan berpikir.
Alhasil, ketidaksingkronan ini merupakan dagelan abad modern. Tafsir intoleransi yang selalu bersinggungan dengan perang sejatinya bentuk distorsi terhadap syariat Islam. Kembali merujuk pada firman ALLAH yang dibahas di paragraf awal, tidak sepantasnya manusia menimbang-nimbang perkara baik dan buruk dalam syariat ALLAH. Tugas manusia hanyalah menjadi hamba yang tunduk dan taat menjalankan seluruh syariat Islam. Karena secanggih apapun, kacamata manusia takkan mampu menandingi kacamata ALLAH.  Wallahu a’lam bis shawab.

Ketika Iman Tergadai Bantuan


         Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah terkena gempa, diajak murtad pula. Inilah kiranya nasib miris yang dialami saudara-saudari muslim di Lombok. Belakangan viral berbagai video dan gambar yang memperlihatkan adanya aktivitas kristenisasi berkedok trauma healing. Hal inipun diakui kevalidannya oleh Dewan Dakwah Islamiyah (Republika.co.id, 28/8). Secara ril juga terbukti dengan ditemukannya buku-buku materi kristenisasi yang siap dibagikan ke masyarakat (Era Muslim (25/8).
Perkara akidah bukanlah perkara main-main. Upaya pendangkalan akidah Islam dengan berbagai modus tentu harus diwaspadai. Jika kita menarik benang merah kejadian ini, tentu upaya kristenisasi ini dipicu tidak hanya oleh dorongan alamiah manusia untuk menyebarkan keyakinannya, akan tetapi pula adanya kesempatan terbuka yang mampu dimanfaatkan.
Wajar saja lantas lagi dan lagi pemerintah dikecam dan dikritik. Bantuan kemanusiaan merupakan salah satu modus operandi yang dillancarkan para misionaris. Lemahnya peran negara dalam mengoptimalkan recovery baik fisik dan mental korban gempa Lombok inilah yang membuka peluang aksi kristenisasi. Teringat sebuah ungkapan yang familiar. Seseorang ketika sudah hampir tenggelam, jerami mengapung pun akan diraih. Korban gempa ketika sudah terjepit dengan kelaparan, kedinginan dan kesengsaraan berkepanjangan, dengan lemahnya diri dan ketiadaan upaya perlindungan negara tentu akan mudah terpengaruh.
Urgensitas kepemimpinan terbaik adalah harapan setiap orang di negeri ini. Rakyat Indonesia, terlebih korban gempa Lombok tentu sangat merindukan kepemimpinan yang mampu mengurusi dan melindungi mereka. Paradigma pengurusan dan perlindungan inilah yang nampaknya masih lalai diwujudkan. Agenda politik pemilu 2019 bahkan riuh meriah ASIAN Games nampaknya lebih urgen dibandingkan nyawa manusia.
Perihal kepengurusan, Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggungjawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk dalam mengatasi masalah bencana. Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). Perihal perlindungan, negara haruslah menjadi garda terdepan yang mengontrol dan memastikan bantuan yang datang dari berbagai pihak bukanlah bantuan yang disusupi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, termasuk diantaranya bujukan berpindah keyakinan.
Perwujudan sistem Islam merupakan perkara urgen yang harusnya diwujudkan. Hanya sistem Islam yg mampu mengurusi, mensejahterakan dan menjaga kekokohan akidah umat. Tentu, hakikat perwujudan ini hanya dapat terjadi dengan adanya kesadaran akan kelemahan diri manusia, termasuk pemimpin negara, sehingga mampu menyerahkan kepengurusan dengan berstandarkan aturan dari Sang Pencipta. ALLAH SWT telah menegaskan:
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (Q.S Al-Anbiya: 107).