Benar adanya, para pemuda
yang didalamnya termasuk para intelektual (mahasiswa) memiliki andil besar
dalam kemajuan suatu bangsa. Sebagaimana yang disampaikan Bapak Proklamator,
Ir.Soekarno bahwa kehadiran satu pemuda saja mampu menggoncang dunia.
Menggoncang dengan kualitas diri yang unggul hingga mampu berkontribusi terbaik
untuk negeri bahkan dunia. Hanya saja, sudahkah kita pada tataran yang
terstandar untuk memahami mutu dari seorang intelektual?
Realitas yang ada
menunjukkan bahwa mutu seorang intelektual acapkali disandingkan dengan
prestasi akademik semata. Kita amati bahwa orientasi nilai lebih diutamakan
dibandingkan kontribusi langsung secara jangka pendek apalagi jangka panjang.
Hingga pada akhirnya, intelektual diperkosa dengan pemikiran instan dan
pragmatis.
Hal yang lebih menarik
bahwasanya pada saat ini para intelektual yang idealis justru semakin
termarjinalkan, termasuk mereka yang idealis dengan ajaran agama Islam. Ini
dapat dikaitkan dengan terminologi “radikalisme” yang tengah hangat
diperbincangkan. Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Budi Gunawan menyatakan
39% mahasiswa Indonesia sudah terpapar paham radikal. Ia pun mengungkapkan
semakin fokus dan menyoroti tiga universitas yang berpotensi menjadi basis
penyebaran paham radikal, meski belum terungkap universitas mana yang dimaksud.
(Detik.com, 28/4)
Apa itu radikal? KBBI
mendefinisikan radikal sebagai mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) atau
dikatakan mengakar. Menarik, definisi ini bahkan tak mengandung sedikitpun
diksi yang negatif apalagi berbahaya. Artinya ini merupakan istilah yang
netral. Namun berbagai definisi radikal semakin condong dan mengerucut pada
penambahan label “kekerasan” dibaliknya, sehingga seolah terminologi ini
mengandung unsur yang membahayakan bagi negara.
Penggorengan isu radikalisme
merupakan hal yang amat nampak. Pasalnya opini semakin digiring agar
radikalisme menjadi tersudutkan pada penilaian negatif kepada Islam. Hal ini
dapat dibuktikan dengan banyaknya statement
berbagai pihak yang mengaitkan terminologi radikalisme dengan berbagai terminologi
keagamaan dalam Islam. Peneliti Wahid Foundation, Alamsyah Ja’far misalnya
mengaitkan radikalisme dengan aktivitas menuntut ilmu agama "Mahasiswa
yang masuk kategori terpapar radikalisme biasanya tidak cukup memahami ajaran
agama. Tapi di sekolah atau di kampus, mereka berniat menekuni agama,"
(CNN Indonesia, 1/5). Hal ini mengindikasikan seolah belajar ilmu agama secara
menyeluruh merupakan proses mengantarkan mahasiswa menjadi radikal. Media mainstream pun tak ketinggalan ambil
bagian, berbagai headline yang
menggunakan terminologi radikalisme mayoritas berisi konten yang mengaitkan
dengan khilafah, rohis, jihad dan berbagai terminologi dalam Islam lainnya. Hal
ini menyebabkan citra Islam menjadi kabur bahkan buruk.
Kesadaran
Politik Mahasiswa: Sebuah Ancaman?
Meningkatnya kesadaran politik Islam di kalangan mahasiswa
bagaimanapun dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan sistem sekuler kapitalis
dan para penjaganya. Sebagaimana dipahami, amat jelas sejatinya propaganda yang
dibangun hingga ke ranah kampus merupakan suatu bentuk upaya untuk menumbuhkan
skeptisme dalam diri mahasiswa atas kebenaran Islam, hingga mengambil Islam
dalam bentuk sikap yang netral dan lenyaplah rasa cinta dan bangga atas seluruh
ajaran Islam. Pada akhirnya, propaganda ini juga jelas menjadikan mahasiswa
semakin jauh dari agamanya hingga menjadikan diri terpesona dan berkiblat pada
barat dalam hal food, fashion, fun and
film.
Tak
kenal maka tak sayang
Tak paham maka tak terima
Inilah
ungkapan yang sangat cocok menggambarkan betapa kesadaran politis akan
keberadaan propaganda radikal versi barat merupakan sebuah urgensi. Mahasiswa
seharusnya memang menyadari bahwa isu radikalisme merupakan isu yang terus
berusaha disusupi ke tubuh kaum muslim untuk mampu terus menancapkan
kepentingan mereka atas kaum muslim. Islam radikal akan terus digesekkan dengan
Islam moderat agar mahasiswa senantiasa hidup secara “biasa-biasa saja”.
Upaya yang sistemik dan
berkesinambungan amat diperlukan untuk membina mahasiswa dengan pemikiran Islam
secara utuh, tanpa pilih-pilih mulai dari akidah, ibadah, syariah bahkan
khilafah. Karena sejatinya yang dihadapi memang pertarungan pemikiran, sehingga
para mahasiswa tidak boleh gentar dengan berbagai propaganda dan ancaman yang
menghadang.
Islam
adalah rahmatan lil alamin. Islam adalah agama yang damai. Metode dakwah Islam
pun jelas sesuai dengan perintah Rasulullah SAW yakni dengan pemikiran dan
tanpa kekerasan. Islam rahmatan lil alamin nyatanya tidak hanya sekedar konsep,
namun aplikatif, begitu pula dengan ajaran khilafah. Maka merupakan hal yang
amat keliru jika mengaitkan khilafah dengan stigma negatif radikalisme yang
dianggap membahayakan para intelektual. Tak ingatkah para intelektual yang
cerdas dan cemerlang justru hadir dari kegemilangan penerapan Islam secara
total dalam naungan khilafah?
0 komentar:
Posting Komentar