Kamis, 10 Mei 2018

TERMINOLOGI RADIKALISME DI KAMPUS: SEBUAH PROPAGANDA?

Benar adanya, para pemuda yang didalamnya termasuk para intelektual (mahasiswa) memiliki andil besar dalam kemajuan suatu bangsa. Sebagaimana yang disampaikan Bapak Proklamator, Ir.Soekarno bahwa kehadiran satu pemuda saja mampu menggoncang dunia. Menggoncang dengan kualitas diri yang unggul hingga mampu berkontribusi terbaik untuk negeri bahkan dunia. Hanya saja, sudahkah kita pada tataran yang terstandar untuk memahami mutu dari seorang intelektual?
Realitas yang ada menunjukkan bahwa mutu seorang intelektual acapkali disandingkan dengan prestasi akademik semata. Kita amati bahwa orientasi nilai lebih diutamakan dibandingkan kontribusi langsung secara jangka pendek apalagi jangka panjang. Hingga pada akhirnya, intelektual diperkosa dengan pemikiran instan dan pragmatis.
Hal yang lebih menarik bahwasanya pada saat ini para intelektual yang idealis justru semakin termarjinalkan, termasuk mereka yang idealis dengan ajaran agama Islam. Ini dapat dikaitkan dengan terminologi “radikalisme” yang tengah hangat diperbincangkan. Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Budi Gunawan menyatakan 39% mahasiswa Indonesia sudah terpapar paham radikal. Ia pun mengungkapkan semakin fokus dan menyoroti tiga universitas yang berpotensi menjadi basis penyebaran paham radikal, meski belum terungkap universitas mana yang dimaksud. (Detik.com, 28/4)
Apa itu radikal? KBBI mendefinisikan radikal sebagai mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) atau dikatakan mengakar. Menarik, definisi ini bahkan tak mengandung sedikitpun diksi yang negatif apalagi berbahaya. Artinya ini merupakan istilah yang netral. Namun berbagai definisi radikal semakin condong dan mengerucut pada penambahan label “kekerasan” dibaliknya, sehingga seolah terminologi ini mengandung unsur yang membahayakan bagi negara.
Penggorengan isu radikalisme merupakan hal yang amat nampak. Pasalnya opini semakin digiring agar radikalisme menjadi tersudutkan pada penilaian negatif kepada Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya statement berbagai pihak yang mengaitkan terminologi radikalisme dengan berbagai terminologi keagamaan dalam Islam. Peneliti Wahid Foundation, Alamsyah Ja’far misalnya mengaitkan radikalisme dengan aktivitas menuntut ilmu agama "Mahasiswa yang masuk kategori terpapar radikalisme biasanya tidak cukup memahami ajaran agama. Tapi di sekolah atau di kampus, mereka berniat menekuni agama," (CNN Indonesia, 1/5). Hal ini mengindikasikan seolah belajar ilmu agama secara menyeluruh merupakan proses mengantarkan mahasiswa menjadi radikal. Media mainstream pun tak ketinggalan ambil bagian, berbagai headline yang menggunakan terminologi radikalisme mayoritas berisi konten yang mengaitkan dengan khilafah, rohis, jihad dan berbagai terminologi dalam Islam lainnya. Hal ini menyebabkan citra Islam menjadi kabur bahkan buruk.

Kesadaran Politik Mahasiswa: Sebuah Ancaman?
      Meningkatnya kesadaran politik Islam di kalangan mahasiswa bagaimanapun dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan sistem sekuler kapitalis dan para penjaganya. Sebagaimana dipahami, amat jelas sejatinya propaganda yang dibangun hingga ke ranah kampus merupakan suatu bentuk upaya untuk menumbuhkan skeptisme dalam diri mahasiswa atas kebenaran Islam, hingga mengambil Islam dalam bentuk sikap yang netral dan lenyaplah rasa cinta dan bangga atas seluruh ajaran Islam. Pada akhirnya, propaganda ini juga jelas menjadikan mahasiswa semakin jauh dari agamanya hingga menjadikan diri terpesona dan berkiblat pada barat dalam hal food, fashion, fun and film.
Tak kenal maka tak sayang
            Tak paham maka tak terima
            Inilah ungkapan yang sangat cocok menggambarkan betapa kesadaran politis akan keberadaan propaganda radikal versi barat merupakan sebuah urgensi. Mahasiswa seharusnya memang menyadari bahwa isu radikalisme merupakan isu yang terus berusaha disusupi ke tubuh kaum muslim untuk mampu terus menancapkan kepentingan mereka atas kaum muslim. Islam radikal akan terus digesekkan dengan Islam moderat agar mahasiswa senantiasa hidup secara “biasa-biasa saja”.
Upaya yang sistemik dan berkesinambungan amat diperlukan untuk membina mahasiswa dengan pemikiran Islam secara utuh, tanpa pilih-pilih mulai dari akidah, ibadah, syariah bahkan khilafah. Karena sejatinya yang dihadapi memang pertarungan pemikiran, sehingga para mahasiswa tidak boleh gentar dengan berbagai propaganda dan ancaman yang menghadang.
            Islam adalah rahmatan lil alamin. Islam adalah agama yang damai. Metode dakwah Islam pun jelas sesuai dengan perintah Rasulullah SAW yakni dengan pemikiran dan tanpa kekerasan. Islam rahmatan lil alamin nyatanya tidak hanya sekedar konsep, namun aplikatif, begitu pula dengan ajaran khilafah. Maka merupakan hal yang amat keliru jika mengaitkan khilafah dengan stigma negatif radikalisme yang dianggap membahayakan para intelektual. Tak ingatkah para intelektual yang cerdas dan cemerlang justru hadir dari kegemilangan penerapan Islam secara total dalam naungan khilafah?

0 komentar:

Posting Komentar