Rabu, 14 Maret 2018

BILA DENGAN ISLAM PEREMPUAN MULIA, MENGAPA HARUS FEMINISME? (Sebuah analisis komparasi)

        Delapan maret merupakan hari yang dijadikan momentum terbesar bagi kaum perempuan di seluruh dunia. Berdasarkan penetapan PBB, delapan maret merupakan hari perempuan internasional yang diinisiasi atas gejolak tuntutan hal berpendapat dan berpolitik kalangan pekerja perempuan di Amerika Serikat. Delapan maret yang diperingati hampir setiap tahun di berbagai belahan dunia juga dimanfaatkan oleh kaum kaum feminis untuk menyuarakan tuntutan mereka yang dianggap merupakan keinginan seluruh perempuan di dunia. Benarkah demikian?
Banyaknya diskriminasi dan kekerasan yang menimpa kaum perempuan di dunia merupakan salah satu penyebab semakin derasnya tuntutan ini. Kaum feminis terus beranggapan bahwa konsep kesetaraan gender (gender equality) merupakan solusi permasalahan ini. Berbagai hukum agama dan budaya yang tak mendukung ide ini dianggap menjadi ancaman. Oleh karenanya tak henti-hentinya kaum feminis (yang juga termasuk didalamnya muslimah) menuntut pemerintah untuk mengadopsi pandangan yang mereka usung. Pertanyaannya, apakah memang tuntutan ini sesuai dengan apa yang dibutuhkan kaum perempuan? Penting adanya memahami secara mendalam delapan tuntutan women march dan melakukan komparasi dengan pandangan Islam terhadap perempuan.

Menyoal delapan tuntutan women’s march 2018

Kaum feminis Indonesia dalam rangkaian women’s march 2018 sebagaimana dikutip dari instagram resmi mengajukan delapan tuntutan. Pertama, menghapus hukum dan kebijakan yang diskriminatif dan melanggengkan kekerasan berbasis gender. Hal ini bermakna bahwa segala kebijakan baik yang didopsi dari pandangan agama atau budaya yang dianggap diskriminatif haruslah dihapus. Tentu hal ini tak menutup kemungkinan akan juga menyasar hukum Islam yang dianggap kaum feminis sebagai hukum diskriminatif seperti hukum menutup aurat, hukum waris, hukum poligami dan lain sebagainya. Pasalnya, beberapa tuntutan yang terlihat dari orasi dan poster para peserta sangat massif menyoal kebebasan terutama dalam aspek berpakaian.
Tuntutan kedua yakni mengesahkan hukum dan kebijakan yang melindungi perempuan, anak, masyarakat adat, kelompok difabel, kelompok minoritas gender dan seksual dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Sejalan dengan tuntutan pertama, akhirnya tuntutan adanya hukum dan kebijakan yang sejalan dengan pemikiran feminis pun akan berusaha ditegakkan. Hal ini menunjukkan adanya arogansi untuk memaksakan pandangan berbasis kesetaraan gender untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga mengesampingkan adopsi hukum lain. Berbeda dengan Islam yang notabene bukan menjadikan hukum buatan manusia sebagai landasan, melainkan syariat yang benar-benar datang dari sang pencipta. Pencipta yang Maha mengetahui segala hal tentang ciptaanNya.
Poin ketiga yang dituntut adalah menyediakan akses keadilan dan pemulihan terhadap korban kekerasan berbasis gender. Mengenai poin ketiga ini, Islam sejatinya telah mengatur urgensi adanya keadilan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surah As-syuuraa: 15. Bahkan sangat ditegaskan untuk berlaku adil kepada siapapun meski terdapat rasa tidak suka terhadap kaum tersebut sebagaimana ditegaskan dalam surah al maidah: 8.
Poin keempat adalah menghentikan intervensi negara dan masyarakat terhadap tubuh dan seksualitas warga negara. Ada hal yang rancu dari tuntutan keempat yang diajukan. Di tuntutan awal, kaum feminis mengajukan agar pemerintah menghapus kebijakan diskriminatif dan mendorong kebijakan yang melindungi dari diskriminasi berbasis gender. Nyatanya, kemudian menuntut pula negara tak lagi ikut campur dalam masalah individu yakni tubuh dan seksualitas. Do what I say and let me do what I want then. Hal ini tentunya bertentangan dengan Islam. Islam mengatur bahwa negara haruslah hadir sebagai pengatur masyarakat sesuai dengan syariat Islam. Negara berperan sangat penting dalam upaya mengatur dan menjaga keharmonisan sosial di bawah sistem Islam.
Tuntutan kelima berfokus pada penghapusan stigma dan diskriminasi berbasis gender, seksualitas dan status kesehatan. Tuntutan ini menjurus kepada upaya untuk mentoleransi keberadaan kaum yang memiliki orientasi perilaku menyimpang. Adanya stigma masyarakat akan perilaku menyimpang memang wajar adanya, karena budaya Indonesia memang tidak mengenal jenis perilaku tersebut dan umat Islam pada khususnya menyadari perilaku menyimpang merupakan perilaku maksiat yang akan mendatangkan dosa dan kemurkaan Allah. Stigma yang dianggap bagian dari diskriminasi tersebut nyatanya merupakan bentuk amar ma’ruf nahi mungkar dan dalam rangka menciptakan kehidupan sosial yang harmonis dan diridhoi Allah SWT. Hal inipun sejalan dengan perintah Allah SWT.
T            untutan keenam adalah menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender, kesehatan, lingkungan hidup dan pekerjaan melalui program pendidikan dan pencegahan kekerasan berbasis gender. Disusul dengan tuntutan ketujuh yang cukup mirip yakni menyelesaikan akar kekerasan berbasis gender yaitu pemiskinan perempuan, khususnya perempuan buruh industri, konflik SDA, pekerja imigran, perempuan narkotika, pekerja seks dan pekerja domestik.  Praktik dan budaya kekerasan pada dasarnya dapat dipahami dari perspektif Islam. Islam telah memberikan penjelasan bahwa syariat Islam jika terterapkan secara keseluruhan akan mampu mencegah tindakan kekerasan. Sebagai contoh, pemerkosaan dapat dicegah dengan adanya pengaturan berlapis mulai dari masalah akidah sampai kepada urusan persanksian. Sekularisme yang menggerogoti manusia telah menyebabkan tidak terterapkannya sistem Islam secara total didalam kehidupan. Inilah sejatinya akar dari segala permasalahan.
Tuntutan terakhir yakni mengajak masyarakat berpartisipasi aktif menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender di lingkungan hukum, kesehatan, lingkungan hidup dan pekerjaan. Tuntutan terakhir ini sifatnya lebih kepada persuasi agar masyarakat dan negara bersinergi dalam upaya menghapus kekerasan berbasis gender. Sekali lagi, tuntutan ini nyatanya merupakan sesuatu yang sudah ada di dalam Islam. Basis keimanan yang kuat yang terwujud dalam penerapan syariat Islam secara kaffah nyatanya adalah bentuk sinergi terbaik masyarakat dan negara untuk memuliakan perempuan.
Sayangnya, ide kesetaraan gender yang bersumber dari sekularisme dan liberalisme yang sudah digadang-gadangkan selama puluhan tahun dan beberapa sudah terpenuhi tetap tidak mampu menjadikan perempuan semakin mulia dan bahagia. Hanya semakin membuat perempuan menderita dan terhina. Islam telah memberikan pengaturan yang dapat memuliakan perempuan semisal dijaganya kehormatan dengan perintah menutup aurat, menundukkan pandangan bagi kaum laki-laki, dilarangnya pornografi, dilarangnya khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan) serta masih banyak lainnya. Kesemua ini sesungguhnya bentuk kecintaan dan penjagaan Islam kepada perempuan. Jika dengan Islam perempuan mulia, kenapa harus feminisme?

0 komentar:

Posting Komentar