Delapan maret
merupakan hari yang dijadikan momentum terbesar bagi kaum perempuan di seluruh
dunia. Berdasarkan penetapan PBB, delapan maret merupakan hari perempuan
internasional yang diinisiasi atas gejolak tuntutan hal berpendapat dan
berpolitik kalangan pekerja perempuan di Amerika Serikat. Delapan maret yang
diperingati hampir setiap tahun di berbagai belahan dunia juga dimanfaatkan oleh
kaum kaum feminis untuk menyuarakan tuntutan mereka yang dianggap merupakan keinginan
seluruh perempuan di dunia. Benarkah demikian?
Banyaknya
diskriminasi dan kekerasan yang menimpa kaum perempuan di dunia merupakan salah
satu penyebab semakin derasnya tuntutan ini. Kaum feminis terus beranggapan
bahwa konsep kesetaraan gender (gender equality)
merupakan solusi permasalahan ini. Berbagai hukum agama dan budaya yang tak
mendukung ide ini dianggap menjadi ancaman. Oleh karenanya tak henti-hentinya
kaum feminis (yang juga termasuk didalamnya muslimah) menuntut pemerintah untuk
mengadopsi pandangan yang mereka usung. Pertanyaannya, apakah memang tuntutan
ini sesuai dengan apa yang dibutuhkan kaum perempuan? Penting adanya memahami
secara mendalam delapan tuntutan women
march dan melakukan komparasi dengan pandangan Islam terhadap perempuan.
Menyoal
delapan tuntutan women’s march 2018
Kaum feminis
Indonesia dalam rangkaian women’s march 2018
sebagaimana dikutip dari instagram resmi mengajukan delapan tuntutan. Pertama,
menghapus hukum dan kebijakan yang diskriminatif dan melanggengkan kekerasan
berbasis gender. Hal ini bermakna bahwa
segala kebijakan baik yang didopsi dari pandangan agama atau budaya yang
dianggap diskriminatif haruslah dihapus. Tentu hal ini tak menutup kemungkinan akan
juga menyasar hukum Islam yang dianggap kaum feminis sebagai hukum diskriminatif
seperti hukum menutup aurat, hukum waris, hukum poligami dan lain sebagainya.
Pasalnya, beberapa tuntutan yang terlihat dari orasi dan poster para peserta
sangat massif menyoal kebebasan terutama dalam aspek berpakaian.
Tuntutan kedua yakni
mengesahkan hukum dan kebijakan yang melindungi perempuan, anak, masyarakat
adat, kelompok difabel, kelompok minoritas gender dan seksual dari diskriminasi
dan kekerasan berbasis gender. Sejalan dengan tuntutan pertama, akhirnya
tuntutan adanya hukum dan kebijakan yang sejalan dengan pemikiran feminis pun
akan berusaha ditegakkan. Hal ini menunjukkan adanya arogansi untuk memaksakan
pandangan berbasis kesetaraan gender untuk diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga mengesampingkan adopsi hukum lain. Berbeda dengan Islam
yang notabene bukan menjadikan hukum buatan manusia sebagai landasan, melainkan
syariat yang benar-benar datang dari sang pencipta. Pencipta yang Maha
mengetahui segala hal tentang ciptaanNya.
Poin ketiga yang
dituntut adalah menyediakan akses keadilan dan pemulihan terhadap korban
kekerasan berbasis gender. Mengenai poin ketiga ini, Islam sejatinya telah mengatur
urgensi adanya keadilan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surah As-syuuraa:
15. Bahkan sangat ditegaskan untuk berlaku adil kepada siapapun meski terdapat
rasa tidak suka terhadap kaum tersebut sebagaimana ditegaskan dalam surah al
maidah: 8.
Poin keempat adalah
menghentikan intervensi negara dan masyarakat terhadap tubuh dan seksualitas
warga negara. Ada hal yang rancu dari tuntutan keempat yang diajukan. Di
tuntutan awal, kaum feminis mengajukan agar pemerintah menghapus kebijakan
diskriminatif dan mendorong kebijakan yang melindungi dari diskriminasi
berbasis gender. Nyatanya, kemudian menuntut pula negara tak lagi ikut campur
dalam masalah individu yakni tubuh dan seksualitas. Do what I say and let me do what I want then. Hal ini tentunya
bertentangan dengan Islam. Islam mengatur bahwa negara haruslah hadir sebagai
pengatur masyarakat sesuai dengan syariat Islam. Negara berperan sangat penting
dalam upaya mengatur dan menjaga keharmonisan sosial di bawah sistem Islam.
Tuntutan kelima
berfokus pada penghapusan stigma dan diskriminasi berbasis gender, seksualitas
dan status kesehatan. Tuntutan ini menjurus kepada upaya untuk mentoleransi
keberadaan kaum yang memiliki orientasi perilaku menyimpang. Adanya stigma
masyarakat akan perilaku menyimpang memang wajar adanya, karena budaya
Indonesia memang tidak mengenal jenis perilaku tersebut dan umat Islam pada
khususnya menyadari perilaku menyimpang merupakan perilaku maksiat yang akan mendatangkan
dosa dan kemurkaan Allah. Stigma yang dianggap bagian dari diskriminasi
tersebut nyatanya merupakan bentuk amar ma’ruf nahi mungkar dan dalam rangka
menciptakan kehidupan sosial yang harmonis dan diridhoi Allah SWT. Hal inipun
sejalan dengan perintah Allah SWT.
T untutan keenam adalah menghapus
praktik dan budaya kekerasan berbasis gender, kesehatan, lingkungan hidup dan
pekerjaan melalui program pendidikan dan pencegahan kekerasan berbasis gender. Disusul
dengan tuntutan ketujuh yang cukup mirip yakni menyelesaikan akar kekerasan
berbasis gender yaitu pemiskinan perempuan, khususnya perempuan buruh industri,
konflik SDA, pekerja imigran, perempuan narkotika, pekerja seks dan pekerja
domestik. Praktik dan budaya kekerasan
pada dasarnya dapat dipahami dari perspektif Islam. Islam telah memberikan
penjelasan bahwa syariat Islam jika terterapkan secara keseluruhan akan mampu
mencegah tindakan kekerasan. Sebagai contoh, pemerkosaan dapat dicegah dengan
adanya pengaturan berlapis mulai dari masalah akidah sampai kepada urusan
persanksian. Sekularisme yang menggerogoti manusia telah menyebabkan tidak
terterapkannya sistem Islam secara total didalam kehidupan. Inilah sejatinya
akar dari segala permasalahan.
Tuntutan terakhir
yakni mengajak masyarakat berpartisipasi aktif menghapus praktik dan budaya
kekerasan berbasis gender di lingkungan hukum, kesehatan, lingkungan hidup dan
pekerjaan. Tuntutan terakhir ini sifatnya lebih kepada persuasi agar masyarakat
dan negara bersinergi dalam upaya menghapus kekerasan berbasis gender. Sekali
lagi, tuntutan ini nyatanya merupakan sesuatu yang sudah ada di dalam Islam.
Basis keimanan yang kuat yang terwujud dalam penerapan syariat Islam secara kaffah nyatanya adalah bentuk sinergi
terbaik masyarakat dan negara untuk memuliakan perempuan.
Sayangnya, ide
kesetaraan gender yang bersumber dari sekularisme dan liberalisme yang sudah
digadang-gadangkan selama puluhan tahun dan beberapa sudah terpenuhi tetap
tidak mampu menjadikan perempuan semakin mulia dan bahagia. Hanya semakin membuat
perempuan menderita dan terhina. Islam telah memberikan pengaturan yang dapat
memuliakan perempuan semisal dijaganya kehormatan dengan perintah menutup
aurat, menundukkan pandangan bagi kaum laki-laki, dilarangnya pornografi, dilarangnya
khalwat (berdua-duaan dengan lawan
jenis) dan ikhtilat (campur baur
laki-laki dan perempuan) serta masih banyak lainnya. Kesemua ini sesungguhnya
bentuk kecintaan dan penjagaan Islam kepada perempuan. Jika dengan Islam perempuan
mulia, kenapa harus feminisme?
0 komentar:
Posting Komentar