Minggu, 25 Maret 2018

STUDENT LOAN DAN CEKIKAN RIBA

           Pendidikan merupakan aspek yang krusial dalam membentuk peradaban suatu bangsa yang gemilang.  Pendidikan juga dianggap menjadi sumber terciptanya generasi-generasi yang cerdas dan mampu mencerdaskan. Pemerintah pun menyadari pentingnya peran pendidikan. Berbagai upaya terus dilakukan untuk mendorong kesempatan pemuda dan pemudi Indonesia untuk mampu mengenyam pendidikan.
Belakangan, Jokowi dalam pertemuannya bersama para petinggi perbankan (15/3/2018) di Istana Negara menggagas sebuah ide yang sebenarnya tidak cukup asing dalam dunia pendidikan yakni student loan. Student loan merupakan suatu pinjaman atau kredit dari perbankan yang dialokasikan untuk dunia pendidikan sebagai upaya untuk membantu para mahasiswa yang kesulitan untuk membayar uang kuliah. Pinjaman digadang-gadang akan diupayakan dengan mudah, tanpa agunan dan bunga kecil. Selain itu, mahasiswa dapat menyicil pinjaman tersebut selama kuliah, setelah mendapat beasiswa atau setelah lulus dan mendapat pekerjaan.

Analisis atas Student Loan
Kebijakan student loan merupakan kebijakan yang sangat memerlukan sinergi antara perbankan dan perguruan tinggi. Pasalnya, kebijakan ini nyatanya tidak murni digalakkan demi kemaslahatan dunia pendidikan, namun juga sebagai upaya mendorong tercapainya target pertimbuhan kredit perbankan. Perbankan tentu saja tidak serta merta menyetujui kebijakan ini, risk and return menjadi suatu keharusan. Pasalnya tak sedikit dijumpai masalah dari penerapan kebijakan ini seperti adanya kredit macet. Terlepas dari hal tersebut nyatanya return atau bisa dikatakan manfaat yang ada dibalik kebijakan ini telah mendorong perbankan menyetujui kebijakan ini.
Jika kita mengamati kebijakan ini, tentu kita akan terpana betapa mengagumkan kepedulian pemerintah mengatur urusan pendidikan. Betapa peduli pemerintah pada nasib mahasiswa tingkat akhir yang biasa kehabisan dana untuk menyelesaikan studi atau melakukan penelitian. Namun, sejatinya justru kebijakan ini merupakan kebijakan yang salah kaprah.
Urusan pendidikan merupakan urusan mendasar sebuah negara yang memang seharusnya diatur oleh pemerintah, baik dari segi pendanaan, pengelolaan, infrastruktur, sumber daya pengajar dan lain sebagainya. Berkaitan dengan pengelolaan, urusan pendidikan sejatinya tidak bisa digerakkan dengan pola transaksi jual beli atau hutang piutang sebagaimana yang terjadi dalam kebijakan student loan. Pasalnya, pendidikan sebagai hak mendasar rakyat haruslah diberikan dengan semurah mungkin bahkan gratis.
Disamping itu, adanya bunga yang mengikuti kredit yang diberikan menambah erat cekikan di leher para pengejar ilmu untuk membayar dan juga menambah cekikan di akhirat karena dosa riba yang didapat. Pemerintah terus saja menstimulus rakyat untuk terlibat dalam transaksi-transaksi ribawi. Budaya berhutang dianggap sebagai solusi ketika terjebak dalam masalah pendanaan. Padahal seharusnya dipahami riba merupakan sumber malapetaka di dalam perekonomian bangsa. Al-Quran juga telah secara tegas melarang transaksi yang mengandung riba dan mengutuk berulangnya transaksi riba yang dilakukan. ALLAH SWT berfirman:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, ALLAH telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada ALLAH. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Q.S. Al-Baqarah: 275).
Pengelolaan pendidikan dengan memanfaatkan peran perbankan sebagai penyalur dana kredit mencirikan sistem pendidikan kapitalistik neoliberal. Asas manfaat dari sisi perbankan yang ada dibalik penyaluran kredit berbunga ringan untuk pendidikan ini menunjukkan lalainya pemerintah untuk memahami konsep pendidikan secara luas. Pendidikan bukan lagi dimaknai hak dasar setiap rakyat yang wajib dipenuhi namun sebatas bagi rakyat yang memiliki uang atau mau berhutang.

Islam dan Pengelolaan Pendidikan
Islam secara tegas menerangkan bahwa pendidikan merupakan hak kolektif rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Pemenuhannya tidak boleh dilakukan dan diafiliasikan dengan sesuatu yang menjadikan beban bagi rakyat. Pendidikan haruslah diberikan dengan seoptimal mungkin tanpa kompensasi.
Visi dan misi pendidikan pun haruslah diarahkan untuk kecemerlangan peradaban Islam, bukan untuk kepentingan semakin menancapkan hegemoni kapitalis barat. Pendidikan haruslah diupayakan untuk membentuk generasi yang berkualitas dan berakhlak mulia bukan justru menjerumuskan pada aktivitas dosa. Hal yang telah terlepas dari sistem pendidikan saat ini adalah pencapaian tujuan-tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri.
Bukankah ALLAH telah secara terang menjelaskan kemuliaan seorang penuntut ilmu. Lantas apakah ALLAH akan ridho jika seorang penuntut ilmu justru menjadikan riba sebagai wasilah meraih ilmu. Akankah keberkahan ilmu akan didapat? Sungguh ironi. Pengelolaan pendidikan dengan sistem Islam merupakan sebuah urgensi. Karena hanya sistem Islam yang mampu menempatkan pendidikan dalam posisi yang strategis dan sesuai dengan nilai luhur pendidikan itu sendiri. Pengelolaan pendidikan secara gratis bukanlah hal yang mustahil jika saja pemerintah tidak berpasrah menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak asing dan swasta. Wallahu alam bishawab.

0 komentar:

Posting Komentar