Pendidikan
merupakan aspek yang krusial dalam membentuk peradaban suatu bangsa yang
gemilang. Pendidikan juga dianggap menjadi sumber
terciptanya generasi-generasi yang cerdas dan mampu mencerdaskan. Pemerintah
pun menyadari pentingnya peran pendidikan. Berbagai upaya terus dilakukan untuk
mendorong kesempatan pemuda dan pemudi Indonesia untuk mampu mengenyam
pendidikan.
Belakangan,
Jokowi dalam pertemuannya bersama para petinggi perbankan (15/3/2018) di Istana
Negara menggagas sebuah ide yang sebenarnya tidak cukup asing dalam dunia
pendidikan yakni student loan. Student
loan merupakan suatu pinjaman atau kredit dari perbankan yang dialokasikan
untuk dunia pendidikan sebagai upaya untuk membantu para mahasiswa yang kesulitan
untuk membayar uang kuliah. Pinjaman digadang-gadang akan diupayakan dengan
mudah, tanpa agunan dan bunga kecil. Selain itu, mahasiswa dapat menyicil pinjaman
tersebut selama kuliah, setelah mendapat beasiswa atau setelah lulus dan
mendapat pekerjaan.
Analisis
atas Student Loan
Kebijakan
student loan merupakan kebijakan yang
sangat memerlukan sinergi antara perbankan dan perguruan tinggi. Pasalnya,
kebijakan ini nyatanya tidak murni digalakkan demi kemaslahatan dunia
pendidikan, namun juga sebagai upaya mendorong tercapainya target pertimbuhan
kredit perbankan. Perbankan tentu saja tidak serta merta menyetujui kebijakan
ini, risk and return menjadi suatu
keharusan. Pasalnya tak sedikit dijumpai masalah dari penerapan kebijakan ini
seperti adanya kredit macet. Terlepas dari hal tersebut nyatanya return atau bisa dikatakan manfaat yang
ada dibalik kebijakan ini telah mendorong perbankan menyetujui kebijakan ini.
Jika
kita mengamati kebijakan ini, tentu kita akan terpana betapa mengagumkan
kepedulian pemerintah mengatur urusan pendidikan. Betapa peduli pemerintah pada
nasib mahasiswa tingkat akhir yang biasa kehabisan dana untuk menyelesaikan
studi atau melakukan penelitian. Namun, sejatinya justru kebijakan ini
merupakan kebijakan yang salah kaprah.
Urusan
pendidikan merupakan urusan mendasar sebuah negara yang memang seharusnya
diatur oleh pemerintah, baik dari segi pendanaan, pengelolaan, infrastruktur,
sumber daya pengajar dan lain sebagainya. Berkaitan dengan pengelolaan, urusan
pendidikan sejatinya tidak bisa digerakkan dengan pola transaksi jual beli atau
hutang piutang sebagaimana yang terjadi dalam kebijakan student loan. Pasalnya, pendidikan sebagai hak mendasar rakyat
haruslah diberikan dengan semurah mungkin bahkan gratis.
Disamping
itu, adanya bunga yang mengikuti kredit yang diberikan menambah erat cekikan di
leher para pengejar ilmu untuk membayar dan juga menambah cekikan di akhirat
karena dosa riba yang didapat. Pemerintah terus saja menstimulus rakyat untuk
terlibat dalam transaksi-transaksi ribawi. Budaya berhutang dianggap sebagai
solusi ketika terjebak dalam masalah pendanaan. Padahal seharusnya dipahami
riba merupakan sumber malapetaka di dalam perekonomian bangsa. Al-Quran juga
telah secara tegas melarang transaksi yang mengandung riba dan mengutuk
berulangnya transaksi riba yang dilakukan. ALLAH SWT berfirman:
“Orang-orang yang memakan
riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama
dengan riba. Padahal, ALLAH telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa
yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada
ALLAH. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya” (Q.S. Al-Baqarah: 275).
Pengelolaan
pendidikan dengan memanfaatkan peran perbankan sebagai penyalur dana kredit
mencirikan sistem pendidikan kapitalistik neoliberal. Asas manfaat dari sisi
perbankan yang ada dibalik penyaluran kredit berbunga ringan untuk pendidikan
ini menunjukkan lalainya pemerintah untuk memahami konsep pendidikan secara
luas. Pendidikan bukan lagi dimaknai hak dasar setiap rakyat yang wajib
dipenuhi namun sebatas bagi rakyat yang memiliki uang atau mau berhutang.
Islam dan Pengelolaan Pendidikan
Islam
secara tegas menerangkan bahwa pendidikan merupakan hak kolektif rakyat yang
wajib dipenuhi oleh negara. Pemenuhannya tidak boleh dilakukan dan
diafiliasikan dengan sesuatu yang menjadikan beban bagi rakyat. Pendidikan
haruslah diberikan dengan seoptimal mungkin tanpa kompensasi.
Visi
dan misi pendidikan pun haruslah diarahkan untuk kecemerlangan peradaban Islam,
bukan untuk kepentingan semakin menancapkan hegemoni kapitalis barat. Pendidikan
haruslah diupayakan untuk membentuk generasi yang berkualitas dan berakhlak
mulia bukan justru menjerumuskan pada aktivitas dosa. Hal yang telah terlepas
dari sistem pendidikan saat ini adalah pencapaian tujuan-tujuan luhur dari
pendidikan itu sendiri.
Bukankah
ALLAH telah secara terang menjelaskan kemuliaan seorang penuntut ilmu. Lantas
apakah ALLAH akan ridho jika seorang penuntut ilmu justru menjadikan riba
sebagai wasilah meraih ilmu. Akankah keberkahan ilmu akan didapat? Sungguh
ironi. Pengelolaan pendidikan dengan sistem Islam merupakan sebuah urgensi.
Karena hanya sistem Islam yang mampu menempatkan pendidikan dalam posisi yang strategis
dan sesuai dengan nilai luhur pendidikan itu sendiri. Pengelolaan pendidikan
secara gratis bukanlah hal yang mustahil jika saja pemerintah tidak berpasrah
menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak asing dan swasta. Wallahu alam bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar